Merdeka.com |
Pada dasarnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (“UU 2/PNPS/1964”) dinyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.
Melihat pada frasa “ditembak sampai mati” maka dapat kita simpulkan bahwa dalam pelaksanaan pidana mati, pemidanaan akan dilakukan sampai terpidana dalam kondisi mati.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (4) UU 2/PNPS/1964 bahwa apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menembakkan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya. Dan untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat minta bantuan seorang dokter (lihat Pasal 13 ayat [5] UU 2/PNPS/1964).
Ketentuan ini sejalan pula dengan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (25) dan ayat (26) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati (“Perkapolri 12/2010”) bahwapenembakan pengakhir dapat diulangi, apabila menurut keterangan Dokter masih ada tanda-tanda kehidupan, dan pelaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila dokter sudah menyatakan bahwatidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada terpidana. Lebih jauh mengenai pelaksanaan pidana mati simak artikel Pelaksanaan Hukuman Mati Kejahatan Narkotika.
Sehingga, pidana mati baru dapat dikatakan selesai pada saat dokter telah menyatakan terpidana tersebut mati. Jika ternyata terpidana tersebut belum mati, pemidanaan belum dapat dikatakan selesai.
SUMBER : www.hukumonline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar