Dihadapanku
bukanlah lagi pikiran pikiran kerdil. Pemikiranya tak seperti pepatah katak
dalam tempurung, diksi katak memang terlalu naif bagi mereka yang higienis, tak
lupa mereka juga menusia yang higienis.
Hingga katak pun kuganti dengan elang, yang bebas menjelajah ke alam
raya ini. Tak ada batas bagi sayap elang, lagi pikiran. Elang tak layak
digembalakan, elang tak layak bersangkar emas. Elang selalu bersangkar rumbia,
elang adalah lambang kebebasan.
Pikiran dan elang mungkin sama,
mungkin juga bersayap, dan mungkin juga bebas. Dihadanku lagi, pikiran manusia
manusia ini haruslah digembala. Itu berarti elang tak lagi bebas, ia harus
meninggalkan rumbia. Namun aku kini adalah penggembala pikiran, bukan elang.
Elang memang bebas, namun kukira pikiran bukan elang.
Mungkin
saja dihadapan saudara adalah sajak sajak yang mungkin sekelas Sutan Takdir tak
bisa memaknainya. Sajak abstrak untuk hidup ini, untuk hidup penggembala.
Sahabat Musa dan Muhammad, manusia manusia termulia yang pernah menggembala.
***
Sore adalah sebuah massa, dimana
sang surya berjumpa lagi dengan barat, berjumpa lagi dengan kapitalisme dan
kebebasan. Sore memang enak sekali untuk berbicara kebebasan, berbicara
mengenai apa saja, tentang tak ada lagi diktator atau otoritarian. Dikala senja
elang elang haruslah pulang ke rumbia mereka.
Sore
hari penggembala, seperti biasa mengumpulkan gembalanya, begitu juga aku, aku
harus mengumpulkan pikiran pikiran yang telah kugembalakan dimana mana, aku
harus menyatukan mereka, yaitu pikiranya. Dan sore itu juga adalah masaku untuk
menggembala, menggembala mereka ke suatu tempat.
Tetapi terkadang pikiran itu
mungkin terlalu lelah terbang kesana kemari. Hingga kadang aku menggembala
mereka dengan terbang ke suatu tempat, kadang pikiran itu terengan engah,
apalagi aku bawa ke rumah zeus, tentu semakin tak jelas cara terbang mereka.
Meski mereka gembira ketika berjumpa venus, nampaknya istana zeus terlalu sulit
untuk dijumpai, meski Venus aduhai menwan cantiknya.
Meski ada rencana mengajak
mereka ke rumah abu nawas, untuk belajar kearifan dan kebijaksanaan, sekaligus
kecerdikan. Untuk lebih dekat ke Illah mantan
penggembala termulia, Musa dan Muhammad. namun akau masih bingun mencari teman
untuk menunjukan jalan ke rumah abu nawas di baghdad sana. Aku takut mereka
tersesat ke ulan bator, hingga mereka akan seperti Genghis Khan.
Dan terkadang, aku juga mengajak
mereka ke istana kremlin. Namun juga cara terbang mereka masih apatis, masih
tak mempunyai tujuan, untuk apa terbang ke kremlin. Untuk apa mempelajari Glasnost dan Perestroika, jika Dekon Kontemporer kita lebih baik, meski
berkiblat sama. Ya Indonesia berkiblat barat, meski kiblat itu ada di barat
laut.
Namun tidak semua pikiran yang
kugembalakan menjadi enggan kuajak pergi, mereka kadang pergi ke rumah zeus,
meski tak berjumpa dengan venus, ia amat yakin rumah zeus di athena sangatlah
nyaman. Ada yang suka rusia dan baghdad, yang aku sukuri tak ada yang suka
mengunjungi Ulan bator.
Namun cukuplah semua yang
kugembalakan gembira ketika mereka ada di Nusantara saja. Nusantara ini cukup indah
di mata mereka, meski aku yakin Indonesia bukanlah miniatur dunia, namun
kuyakin dunia akan mini tanpa nusantara.
***
Syahdan, sore di atas permadani
hjau, aku termangu dan menunggu, mau kubawa kemana pikiran pikiran hebat ini.
Hari ini aku terlalu lelah setelah menggembala ke dunia ketidakadilan, dunia
dimana orang bebas menghujat dan bebas katakan apa saja, lagi lagi ia bebas
layaknya elang.
Anak gembalaku mulai datang diatas permadani hijau ini, mulai bergelut
dan berguling manja, layaknya seekor anak macan, ia terlihat lucu dan
menggemaskan, meski waktu nanti akan membuatnya garang dan sangar. Aku yakin
pikiran akan seperti itu, ketika dia ada di lingkunga yang ganas, sangat
mungkin wataknya ganas. Lihatlah saja srenggeti, insting keras selalu ada di
atas kasih sayang. Kanibalisme adalah wajar dalam dunia rimba. Mungkin itu yang
kujumpai di dunia ketidakadilan.
Hari ini aku sial, sial dan
sial. Aku ingin ajak gembalaku bermain main ke suatu tempat, tempat dimana
gembala gembalaku menjadi lebih dewasa. Aku lupa nama tempatnya, kuyakin bukan
athena maupun sumeria yang telah ditelan bencana. Namun penunjuk jalan tidak
hadir jua, aku sudah berjanji ke gembala gembala kecilku. Namun hari ini mereka
menghargai aku, mereka mau membahas indonesia mereka.
Ingin kuajak mereka berguru ke
Ki Panji Kusmin, namun rasanya mustahil. Ia sudah di alam lain bersama nama HB
Jassin, aku urung bertemunya. Padahal beliau adalah orang hebat, ia menciptakan
dua elang dari surga, untuk perlihatkan Indonesia dengan togog busuknya. Iya
benar dimanapun togog itu busuk.
Namun gembala gembalaku bukanlah
togog yang busuk, mereka adalah hamba hamba Tuhan yang taat. Hamba hamba Illah Musa dan Muhammad, mantan
penggembala mulia. Sekarang di indonesia yang “Tanah Surga Katanya”, pikiran
pikiranku kuajak ke tempat safari para mereka yang suka disebut yang mulia.
Tempat yang mulia berdiskusi, tempat yang mulia memakai topeng. Topeng keadilan
dan kebenaran, dibalik wajah yang tak pantas kusebut yang mulia. Ia kusebut
yang mulia ketika bertopeng hipokrit, selebihya tidak.
Tempatnya di senayan, para yang
mulia itu semuanya bertopeng, termasuk mereka yang katanya dekat dengan Illah Muhammad dan Musa, sang
penggemabala mulia. Tak ada penjual topeng disini, aku Berkhuznudzan saja,
mereka yang mulia adalah orang yang kreatif membuat topeng. Namun pikiran pikiran yang kugembalakan tak
tertarik dengan kekreatifan para pembuat topeng itu, para pikiran pikiranku
lebih memilih tampil tanpa topeng, aku pun demikian, tanpa topeng pun semuanya
tampak bagus. Yang tak ketinggalan pula, para pembuat topeng itu, dulunya pun
demikian, bahkan ada yang tampil dengan hati saja, tanpa wajah.
Hari ini aku lelah bersama
mereka, sang surya juga tak tahu entah kemana. Ah mungkin sang surya juga lelah
bersama kami. Sang surya tak pernah bicara dan bertanya, namun dalam
keheninganya ada kehidupan, kehidupan para penggembala, kehidupan para manusia
mulia, sahabat Muhammad dan Musa. Dari keduanya lahir manusia manusia mulia
pula, aku pun demikian aku ingin lahir dari diriku manusia yang mulia juga,
walau hidup ini hanya sementara, namun karya tetap selamanya.
Cerpen
Oleh : Sahabat
Surya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar