Minggu, 31 Maret 2013

Catatan Penggembal pikiran



Dihadapanku bukanlah lagi pikiran pikiran kerdil. Pemikiranya tak seperti pepatah katak dalam tempurung, diksi katak memang terlalu naif bagi mereka yang higienis, tak lupa mereka juga menusia yang higienis.  Hingga katak pun kuganti dengan elang, yang bebas menjelajah ke alam raya ini. Tak ada batas bagi sayap elang, lagi pikiran. Elang tak layak digembalakan, elang tak layak bersangkar emas. Elang selalu bersangkar rumbia, elang adalah lambang kebebasan. 
                Pikiran dan elang mungkin sama, mungkin juga bersayap, dan mungkin juga bebas. Dihadanku lagi, pikiran manusia manusia ini haruslah digembala. Itu berarti elang tak lagi bebas, ia harus meninggalkan rumbia. Namun aku kini adalah penggembala pikiran, bukan elang. Elang memang bebas, namun kukira pikiran bukan elang.
Mungkin saja dihadapan saudara adalah sajak sajak yang mungkin sekelas Sutan Takdir tak bisa memaknainya. Sajak abstrak untuk hidup ini, untuk hidup penggembala. Sahabat Musa dan Muhammad, manusia manusia termulia yang pernah menggembala.
***
                Sore adalah sebuah massa, dimana sang surya berjumpa lagi dengan barat, berjumpa lagi dengan kapitalisme dan kebebasan. Sore memang enak sekali untuk berbicara kebebasan, berbicara mengenai apa saja, tentang tak ada lagi diktator atau otoritarian. Dikala senja elang elang haruslah pulang ke rumbia mereka.
Sore hari penggembala, seperti biasa mengumpulkan gembalanya, begitu juga aku, aku harus mengumpulkan pikiran pikiran yang telah kugembalakan dimana mana, aku harus menyatukan mereka, yaitu pikiranya. Dan sore itu juga adalah masaku untuk menggembala, menggembala mereka ke suatu tempat.
                Tetapi terkadang pikiran itu mungkin terlalu lelah terbang kesana kemari. Hingga kadang aku menggembala mereka dengan terbang ke suatu tempat, kadang pikiran itu terengan engah, apalagi aku bawa ke rumah zeus, tentu semakin tak jelas cara terbang mereka. Meski mereka gembira ketika berjumpa venus, nampaknya istana zeus terlalu sulit untuk dijumpai, meski Venus aduhai menwan cantiknya.
                Meski ada rencana mengajak mereka ke rumah abu nawas, untuk belajar kearifan dan kebijaksanaan, sekaligus kecerdikan. Untuk lebih dekat ke Illah mantan penggembala termulia, Musa dan Muhammad. namun akau masih bingun mencari teman untuk menunjukan jalan ke rumah abu nawas di baghdad sana. Aku takut mereka tersesat ke ulan bator, hingga mereka akan seperti Genghis Khan.
                Dan terkadang, aku juga mengajak mereka ke istana kremlin. Namun juga cara terbang mereka masih apatis, masih tak mempunyai tujuan, untuk apa terbang ke kremlin. Untuk apa mempelajari Glasnost dan Perestroika, jika Dekon Kontemporer kita lebih baik, meski berkiblat sama. Ya Indonesia berkiblat barat, meski kiblat itu ada di barat laut.
                Namun tidak semua pikiran yang kugembalakan menjadi enggan kuajak pergi, mereka kadang pergi ke rumah zeus, meski tak berjumpa dengan venus, ia amat yakin rumah zeus di athena sangatlah nyaman. Ada yang suka rusia dan baghdad, yang aku sukuri tak ada yang suka mengunjungi Ulan bator.
                Namun cukuplah semua yang kugembalakan gembira ketika mereka ada di Nusantara saja. Nusantara ini cukup indah di mata mereka, meski aku yakin Indonesia bukanlah miniatur dunia, namun kuyakin dunia akan mini tanpa nusantara.
***
                Syahdan, sore di atas permadani hjau, aku termangu dan menunggu, mau kubawa kemana pikiran pikiran hebat ini. Hari ini aku terlalu lelah setelah menggembala ke dunia ketidakadilan, dunia dimana orang bebas menghujat dan bebas katakan apa saja, lagi lagi ia bebas layaknya elang.
                Anak gembalaku mulai datang  diatas permadani hijau ini, mulai bergelut dan berguling manja, layaknya seekor anak macan, ia terlihat lucu dan menggemaskan, meski waktu nanti akan membuatnya garang dan sangar. Aku yakin pikiran akan seperti itu, ketika dia ada di lingkunga yang ganas, sangat mungkin wataknya ganas. Lihatlah saja srenggeti, insting keras selalu ada di atas kasih sayang. Kanibalisme adalah wajar dalam dunia rimba. Mungkin itu yang kujumpai di dunia ketidakadilan.
                Hari ini aku sial, sial dan sial. Aku ingin ajak gembalaku bermain main ke suatu tempat, tempat dimana gembala gembalaku menjadi lebih dewasa. Aku lupa nama tempatnya, kuyakin bukan athena maupun sumeria yang telah ditelan bencana. Namun penunjuk jalan tidak hadir jua, aku sudah berjanji ke gembala gembala kecilku. Namun hari ini mereka menghargai aku, mereka mau membahas indonesia mereka.
                Ingin kuajak mereka berguru ke Ki Panji Kusmin, namun rasanya mustahil. Ia sudah di alam lain bersama nama HB Jassin, aku urung bertemunya. Padahal beliau adalah orang hebat, ia menciptakan dua elang dari surga, untuk perlihatkan Indonesia dengan togog busuknya. Iya benar dimanapun togog itu busuk.
                Namun gembala gembalaku bukanlah togog yang busuk, mereka adalah hamba hamba Tuhan yang taat. Hamba hamba Illah Musa dan Muhammad, mantan penggembala mulia. Sekarang di indonesia yang “Tanah Surga Katanya”, pikiran pikiranku kuajak ke tempat safari para mereka yang suka disebut yang mulia. Tempat yang mulia berdiskusi, tempat yang mulia memakai topeng. Topeng keadilan dan kebenaran, dibalik wajah yang tak pantas kusebut yang mulia. Ia kusebut yang mulia ketika bertopeng hipokrit, selebihya tidak.
                Tempatnya di senayan, para yang mulia itu semuanya bertopeng, termasuk mereka yang katanya dekat dengan Illah Muhammad dan Musa, sang penggemabala mulia. Tak ada penjual topeng disini, aku Berkhuznudzan saja, mereka yang mulia adalah orang yang kreatif membuat topeng.  Namun pikiran pikiran yang kugembalakan tak tertarik dengan kekreatifan para pembuat topeng itu, para pikiran pikiranku lebih memilih tampil tanpa topeng, aku pun demikian, tanpa topeng pun semuanya tampak bagus. Yang tak ketinggalan pula, para pembuat topeng itu, dulunya pun demikian, bahkan ada yang tampil dengan hati saja, tanpa wajah.
                Hari ini aku lelah bersama mereka, sang surya juga tak tahu entah kemana. Ah mungkin sang surya juga lelah bersama kami. Sang surya tak pernah bicara dan bertanya, namun dalam keheninganya ada kehidupan, kehidupan para penggembala, kehidupan para manusia mulia, sahabat Muhammad dan Musa. Dari keduanya lahir manusia manusia mulia pula, aku pun demikian aku ingin lahir dari diriku manusia yang mulia juga, walau hidup ini hanya sementara, namun karya tetap selamanya.
Cerpen Oleh : Sahabat Surya