Bola sepak menggelinding kepada Joko
kecil, riuh teriakan anak anak tanggung memerintah Joko kecil agar segera
mengembalikan kepada mereka. Sore seru, rupanya mereka sedang bermain sepak
bola, di belakang sebuah Madrasah. Joko selalu menyempatkan antusiasmenya
kepada Sepak Bola, kebetulan Ridwan, kakak laki lakinya sedang bermain. Ia
mengidolakan Delpiero sebagai pemain bola, tubuhnya kecil mirip joko, namun
lincahnya bukan main, dan tendanganya pun luar biasa.
“woy, cepat lempar”
“iya mas, bentar” Joko menjawab
Dari
jarak lima meter lemparan joko tidak sampai ke lapangan, tanganya
terlalu lemah melempar bola, kebetulan kakinya ikut terpeleset , dan buuk, joko
kecil mengaduh kesakitan, segera semua lapangan menertawakan aksi kecil joko,
cukup lama mereka tertawa disertai ejekan.
“Wah.. lempar bola aja jatuh, masa
mau jadi pemain bola”
“bolanya ngak sampai lagi, udah main
bekel aja sana”
Mereka kembali tertawa, ridwan sang
kakak justru larut dalam tawa teman temanya. Namun, segera sadar ia melanjutkan
permainan sepak bola. Joko merengut, menggerutu dalam hati, entah sudah berapa
kali ia datang ke lapangan sebagai penonton, ia berangkat dengan kakaknya dari
rumah bersama, namun beda nasib ketika di lapangan, meski berbekal sepatu sepak
bola.
Seusai pertandingan, para pemain
melepas penat di pinggir lapangan, beberapa asik bermain passing, mencoba Shotting,
dan beberapa terlibat pendinginan, joko segera memakai sepatu dan larut dalam
permainan passing. Ridwan di pinggir
lapangan Cuma tersenyum simpul, Zaki, rekan satu timnya menepuk pundak Ridwan.
“Keren kamu bro, dua gol dari
tendangan bebas semua”
“hahaha, kipernya aja nga teliti”
Ridwan merendah
“alaaah, jangan merendah gitu lah,
sering kok kamu gini”
“liat noh, adikmu” ujar zaki dengan
senyuman mengejek.
Memang
Joko terlihat konyol, setelah memakai sepatu di akhir latihan, ia ikut beberapa
pemain yang terlibat passing game, satu
dua sentuhan di kaki Joko, mereka bubar, Joko tak kurang akal, ia bermain joggling sendiri dan hanya satu dua
sentuhan, bola kemudian menyentuh tanah. Beberapa yang berlabuh di pinggir
lapangan tersenyum melihat aksi Joko. Joko mulai kesal, ia ingin membuktikan
dirinya bisa bermain sepak bola.
“Mas Yuli, kiper ya”
“Aku mau nendang”
Terlihat Yuli, sang kiper andalan
masih berdiri di Mistar, melakukan pendinginan. Yuli mengiyakan dan Joko
bersiap menendang. Joko menendang, dan blassh, tendanganya ternyata cukup
keras, namun, owwh, Bola malah mengarah ke masuk ke Madrasah, kontan semua
tertawa terbahak bahak, Yuli enggan mengambil bola, karena tau Madrasah itu terkenal angker.
Joko kembali meringis, ia harus
nekat melompat pagar ke madrasah. Joko memang terbiasa sowan ke madrasah, selain dulu menjadi sekolahnya. Hampir setiap
latihan, Joko bertugas mengambil bola yang melambung jauh dan berteduh di
madrasah. Setelah tugasnya usai, Joko baru bisa bermain game. Joko tidak senasib dalam menunaikan tugas, ia bersama
beberapa anak yang terpaut tiga tahun usia dibawahnya, mereka pun mendapat
kesempatan main setelahnya.
Garuda Muda FC, memang bukan tim
kacangan di Kota Joko. Beberapa trofi sudah mampir di lemari Garuda Muda.
Mereka memiliki beberapa lapis tim, Joko masih ditempatkan di Lapis C bersama
anak SMP, meskipun ia sudah menginjak jenjang SMA. Skillnya terbilang kurang,
banyak seusia Joko yang tidak lagi meneruskan bermain sepak bola, karena memang
skillnya kurang kemudian beralih ke hobi lain, namun tidak dengan Joko yang
tetap berlatih keras. Kebetulan hari itu, memang jadwal latihan tim senior, dan
tim lapis C di hari yang lain.
Berbeda dengan Ridwan, Kakak Joko.
Ia gelandang cerdas dengan tendangan keras, kehebatan bermain tidak hanya
dikenal dalam satu kota saja, beberapa bulan lalu, sebuah klub
professional asal Bandung mencoba
melawar ridwan, Ridwan menolak dengan alasan fokus kuliah. Ridwan menjadikan
sepakbola sekedar sampingan saja, ridwan bercita cita menjadi Arsitek handal.
Kebetulan beberapa bulan lagi, ia merengkuh gelar sarjana.
Berbeda dengan joko yang memiliki
keinginan kuat menjadi pemain bola. Joko terus berlatih fisik, tubuhnya
terbilang atletis, karena setiap hari ditempa latihan keras. Sesudah Shubuh, sebelum
berangkat sekolah, siang sehabis sekolah, dan Sore, lapangan bola samping
madrasah menjadi menu latihan joko sendiri. Ia terus berlari kecil, seolah tak
peduli omongan orang.
Yani, kakak perempuan Joko sudah
memperingati adik kecilnya. Prestasi akademik Joko akhir akhir ini menurun,
meski bukan tergolong anak yang bandel. Di sekolah Joko, tampak tak bugar dalam
menempa pelajaran. Joko sering tertidur pulas, tubuhnya letih, terkuras dari
latihan yang berat sejak pagi.
“Jok, jangan main bola terus” ujar
yani pelan.
“ah, mbak tahu apa sih, yakin mbak
kalo latihan terus pasti bisa” “Nada Joko meninggi.
“ih,
kamu dibilangin ngeyel, lihat nilai
sekolahmu, mana ?, ada yang bagu ndak?”
“setiap hari kerjanya cuma lari lari, kapan
kamu belajar ?"
Joko
terdiam murung. Entah sudah berapa kali ia kena marah kakak perempuanya yang
terbilang cerewet. Yani, kakak joko memang terbilang peduli pendidikan kepada
adik adiknya. Ridwan, hampir sama dengan Joko ketika masa SMA dulu, namun
Ridwan diarahkan fokus kepada bidang akademik, meskipun kemampuan sepak bolanya
terbilang hebat, Ridwan bahkan pernah masuk seleksi timnas junior, namun gagal.
“contoh
itu lho mas mu, Pinter, kalau tidak mau kuliah mau jadi apa kamu”
Joko sesekali melirik jam, sudah hampir dua
jam ia membisu menjadi amarah kakaknya. Ridwan terkadang membela Joko ketika
dirundung amarah kakaknya, namun Ridwan sedang mengikuti turnamen futsal
bersama teman temanya. Sang Ayah, masih belum pulang menjual Es Campur. Ibu
joko sudah tiada empat tahun lalu, Ibu Joko orang yang paling mendukung impianya.
Joko masih ingat, Sebuah Sore yang basah, ibunya rela, mengantar kedua putranya
berlatih bersama Garuda Muda. Hujan besar seusai latihan dengan ketersediaan
satu payung, Joko dan Ridwa berjalan dengan satu payung, sedang sang ibu rela
berjalan ditempa hujan sore. Sampai akhirnya, Kanker ganas memaksa Ibu Joko
berjumpa Tuhanya.
“Pokoke
aku meh bal balan, aku wis sungkan sekolah” ketus joko, berlalu dari pandangan
Yani. Ia masuk kamar, mematkan lampu dan pulas dalam mimpinya. Yani mengelus
dada, dan melapor kepada Ridwan dan Ayahnya ketika keduanya pulang, yani
berharap keduanya bisa membujuk Joko untuk fokus kepada pendidikan.
Kerja
keras Joko berbuah manis, satu tahun latihanya ia masuk ke tim lapis kedua,
meski berperan sebagai cadangan. Meski tak sepandai kakaknya, Fisik joko
terbilang kuat dalam berduel. Joko tak sungkan bertubrukan dengan lawan
lawanya. Kelemahan Joko ada pada skill dan
ketenangan bermain, seringkali dalam pertandingan besar, ia melakukan
kesalahan, seperti salah umpan. “kali ini kamu main inti ya jok, tolong jaga
pertahanan sisi kanan, sayap kiri mereka lincah sekali, ndak usah overlapping”. Ujar pelatih member
kepercayaan kepada Joko.
Joko
tidak ingin menyalahi amanah yang diberikan pelatihnya. Memang pertandingan ini
sekedar persahabatan, namun pertandingan ini dalam rangka persiapan turnamen
yang diadakan di Surabaya bulan depan. Ia harus berebut tempat dengan Fadli,
bek kanan yang tak kalah garangnnya, kebetulan saudara Fadli ada yang sakit,
hingga ia tidak bisa menjalani pertandingan.
Sampai
babak pertama berakhir, kedua tim bermain ketat, Joko bermain luar biasa.
Ketangguhan fisiknya berhasil meredam Haris, sayap kiri tim lawan yang terkenal
licin. Babak kedua dimulai, Haris diganti, Joko tersenyum. Artinya ia bisa overlapping dengan bebas, namun dari
sinilah kesalahan ini dimulai.
Pengganti
haris memang tidak lincah, namun pelari yang cepat, Joko yang kalah sprint akibat membantu menyerang membuat
garuda muda tertinggal 1-0. Tim lawan berhasil menggandakan kedudukan, Joko
terlalu asik bermain bola di belakang, hingga pemain lain merebut bola dan
menyarangkan bola ke Garuda Muda.
Evaluasi
setelah pertandingan, Joko tertunduk lesu. Memang tidak ada yang menyalahkanya
dalam pertandingan ini. Ia merasa bersalah, dan meminta maaf kepada teman
temanya. Pengumuman daftar pemain pun keluar, nama joko tidak ada dalam daftar
pemain yang ikut ke Surabaya, posisinya diganti Agus, adik tingkatnya yang
bermain luar biasa pada pertandingan persahabatan yang lain.
Joko
sepertinya tidak hanya terlatih secara fisik, namun juga mental yang tangguh.
Ia masih ingat pesan ibunya ketika masih hidup, agar segera bangkit seusai
gagal, dan jangan pantang menyerah. Joko tahu, ia harus berlatih dengan keras,
meski tak lama lagi Ujian Nasional semakin dekat, Yani, sang kakak tertua
semakin banyak mengelus dada.
***
“Jok,
ojo lali, nanti bapak periksa di Pak Fahmi” Ujar Yani.
“nanti
ingetin bapak, suruh minum obat”.
“iya
mbak” Joko menjawab dalam keadaan terengah, ternyata ia sedang Push Up.
Memang
radang tenggorokan Ayah Joko semakin tidak baik, seminggu sekali ia harus ke
Dokter untuk chek up. Setelah Yani
menikah, dan ikut suaminya, Ridwan juga memperolah pekerjaan di Luar Kota,
praktis Joko sendiri tinggal bersama ayahnya. Joko memilih tidak kuliah selepas
SMA, ia hanya mengikuti Kursus Komputer
pada Kelas Malam di Kotanya. Ia tetap memelihara harap untuk menjadi
pemain Bola. Sisa waktu, ia bantu ayahnya berjulan es campur di Pasar samping Stadion.
“uwis
pak, besok ndak usah jualan, biar joko wae”
“bapak
besok istirahat, tadi pak dokter bilang gitu”
“alah,
bapak pernah yang lebih parah” Ayah Joko agak ngeyel
Joko
paham, ayahnya tak mungkin absen hanya gara gara sakit tenggorokan. Ia pekerja
keras. Terlebih usaha Es Gerobak kecilnya adalah warisan kakeknya dulu, meski
Ridwan dan Yani sudah menyuruh bapaknya untuk berhenti berjualan, biar gerobak
dijual saja.namun bagi bapak, adalah pantangan untuknya “nanti sebelum lampu
merah, mampir ke Bakso Pak Herman, bapak lama ngak mampir” kebetulan gerimis
beranjak kepada hujan.
“Dulu
Pak Herman ini, jualnya pakai gerobak kaya bapak ini”
“Cuma
sekarang dia punya toko, bapak belum” Ayah Joko tertawa kecil.
Joko
Cuma bergumam saja, ia bergejolak sejak dari ruang tunggu dokter fahmi, ia ada
seleksi tim futsal untuk turnamen di Surabaya sore ini. Joko dengan cepat
melahap Bakso, agar segera usai mengantar ayah bertemu kawan lama. Ia berdoa,
ayah segera habiskan bakso, dan pulang.
“Koe
ra pingin kuliah jok”
Joko
semakin terpojok, serasa dunia beserta isinya menindih tubuhnya Sore itu.
Pertanyaan singkat, namun berat untuk dijawab. Joko ingin segera berteriak
kepada ayahnya, ia sedang ditunggu teman temanya, dan akan joko jawab
pertanyaan santai ayah sehabis bermain futsal.
“wis,
bapak bisa biayai sendiri, bapak yang Cuma SD wae, bisa kuliahkan mas dan mbakmu” cegah bapak joko
“kalo
Cuma kursus komputer, ..”
“Joko
pingin dadi pemain bal pak” Joko memotong dengan suara lirih. Ia melirik jam di
pojok warung, ia lunglai dan pesimis, bisa mengejar seleksi tim futsal. Ia sudi
untuk dengar nasihat bapak, Ayah Joko memang membebaskan anaknya untuk kuliah
apa saja, yang terpenting berapa duit yang dibutuhkan, ia akan segerea penuhi.
“kenapa
to, kamu pengen jadi pemain bola”
Joko
menunduk dan tak tau apa yang harus ia katakana” tiba tiba HPnya bergetar, satu
pesan masuk. Seleksi ditunda nanti malam, pelatih masih di luar kota. Iqbal. Isi
pesan singkat itu seolah membuat Joko
terbang ke Surga, ia serasa menghirup segarnya udara pagi ranu kumbolo. Ia
tampak tersenyum simpul karena masih ada kesempatan”
“kenopo
mas.” Ayah joko bingung
“mboten
pak” Joko tampak sumringah.
“Joko
pingin dadi pemain timnas pak, mengharumkan nama bangsa” Joko tampah terharu
dengan perkataanya sendiri.
“Ah
koe ki, ngeyel kayak ibumu dulu”ayah joko tersenyum simpul.
“umurmu
uwis tua kalo mau jadi pemain bola jok”
“kan
Almarhum Ibu sendiri yang bilang, jangan pernah menyerah dengan cita cita kita”
“iyo bapak ngerti, tapi ya…”
Hujan
tambah deras, petir bagai lampu blitz berkejaran memburu artis, kemudian
diikuti suara menggelegar, nasihat lirih ayah joko semakin tak terdengar. Sehabis
itu, keduanya larut dalam lamunan dan sisa makanan masing masing. Entah sudah
berapa kesempatan, Ayah Joko membujuk putranya untuk berkuliah saja, daripada
sekedar kursus.
Joko
beralasan ingin merintis karier di klub lokal dengan senantiasi berlatih di
Sore hari. Jika Joko kuliah, maka ia akan berada di luar kota, karena kebetulan
di Kota kecil Joko tidak ada universitas. Bulan lalu, ia juga sempat bertengkar
dengan ridwan yang bersedia membiayai kulihah joko, namun ditolak mentah
mentah.
”wis
karepmu, tak bilangin sekali lagi”
“dadi
pemain bal iku, ndak ada duitnya”
Ridwan
melotot marah di depan Joko yang mendekap erat kedua sepatunya. Ia tahu
sepatunya akan dibuang atau mungkin dibakar kakaknya, seperti minggu yang lalu.
Joko hanya terdiam lesu, tertunduk, dan tetap ngeyel dalam diamnya. Sejak itu ridwan, memang jarang bicara dengan
adiknya.
Sepeda
motor yang ditunggangi Joko meleset kencang, hujan sudah reda, perut Kenyang
terisi. Apalagi pak herman, ogah dibayar ayah Joko yang merupakan karib lama.
Dari kejauhan Lampu hijau ada di detik
lima dan semakin berkurang, motor joko masih agak jauh, ia semakin kencang
memacu motornya. Lampu sudah merah, Joko masih melesat kencang. Dari araha
kiri, sepeda motor yang sama kencangnya melaju. Dan… braaaaak.
Keduanya
terpental jauh, joko dan ayahnya tergeletak berjauhan bersimbah darah.
Pengendara motor satunya, tak kalah naas, dengan tersungkur dengan banyak luka.
Tetiba semuanya ramai, Joko semakin terbayang seleksi tim futsalnya, ridwan,
mbak yani, ridwan, bapak yang penuh luka, dan samar samar suara ibunya.
***
Rumah
joko ramai. Disesaki lantunan ayat qur’an, yang terkadang diselingi
sesenggukan. Ridwan, Yani, dan Joko kini yatim piatu. Mereka berjejer, dengan
wajah lebam tangisan satu malam, ayah joko telah tiada, luka di kepala akibat
kecelakaan tempo hari cukup fatal. Joko divonis cacat permanen pada kaki
kirinya, ia berjalan dengan dibantu dua tongkat, ia. Sesekali tangan kirinya
mengusap air mata yang kian berderai.
Seluruh
anggota tim, gagal berangkat mengikuti turnamen. Mereka memilih mendampingi
Joko yang terkena musibah. Mereka menguatkan Joko, meski impianya menjadi
pemain bola telah pupus dengan kaki yang cacat. Ridwan, terus mendampingi joko yang
terus tersedu di hari kematian ayahnya.
***
Deru
tepuk tangan menggema di sebuah auditorium kampus, peserta dengan pakaian necis
dirundung rasa penasaran. Dengan seksama mereka terbius pengalaman para
pembicara yang sukses megembangkan usahanya di usia muda. Sesekali mereka
menunduk, mengusap gadetnya, mengangkat tinggi tinggi dan cekritt..
, beberapa bergantian memfoto para
pembicara.
“Kuncinya
adalah jangan meyerah dan sabar”
“tidak
usah banyak teori, langsung kerja dan segera dibereskan”
Rupayan
salah satu diantara mereka adalah Joko, ia begitu bersemangat menularkan
pengalaman bisnisnya kepada generasi muda. Ia kini menjadi pengusaha es pedas,
meneruskan bisnis Almarhum ayahnya.
Rukonya sudah bercabang hingga keluar kota, omsetnya puluhan juta dalam
sebulan, ia bahkan mempekerjakan beberapa temanya yang putus sekolah.
“oh
iya satu lagi kuncinya, sebaiknya teman teman jangan kuliah”
Serentak
peserta terbahak mendengar ucapan nyeleneh
Joko.
Joko
tampil santai dengan kaos sepakbola, ia sempat menceritakan kisah sedih dengan
tongkat dan kaki kirinya, berbekal sertifikan Kursus dan SMA ia sempat melamar
kerja di berbagai tempat namun selalu ditolak, karena kakinya cacat. Impian
menjadi pemain sepak bola yang terkubur, sempat membuatnya pesimis untuk hidup.
Hingga suatu hari ia melihat gerobak es ayahnya yang menganggur, dan bertekad
meneruskan usaha ayahnya.
“wah..
awalnya berat adek adek, dua minggu saya buka jualan, yang beli bisa dihitung”
Namun
tekad bulat hidupnya, membuat ia terus bertahan, hingga lahirlah ide es pedas.
Usaha yang unik ini, digandrungi anak muda di kotanya, usahanya terus
berkembang, dari awalnya mulai menyewa ruko, hingga bisa membeli sebuah ruko
tersendiri. Ia membuka cabang di banyak tempat. Ridwan dan Yani hanya tersenyum
adiknya bisa sesukses ini.
Impian
menjadi sepak bola memang terkubur dalam, namun dalam setiap pertandingan ia
selalu hadir, namun bukan sebagai penonton. Ia hadir sebagai donator tetap Garuda
FC. Dengan kekuatan finasialnya, ia bisa mengangkat Garuda FC yang sempat
terpuruk karena krisis finasial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar