Selasa, 31 Mei 2016

Sayyid Ustman, jejak Kontroversial Mufti Betawi



Islam pada masa pemerintah Kolonial selalu menjadi penghalang, yang selalu menyusahkan kuku kolonial leluasa menancapkan kekuasaan di Bumi Nusantara. Pemberontakan yang dipimpin para Ulama dan Haji, selalu diwaspadai oleh para gubernur jenderal, hingga kemudian dipikirkan cara terbaik untuk meredam semangat perlawanan Umat Islam. Pendirian Kantoor voor Inlandasche Zaken atau kantor urusan nasehat untuk masalah Pribumi pada 1899, menandai keawaspadaan Total pemerintah Kolonial terhadap gerakan Islam. Sebab mayoritas Pribumi adalah beragama Islam, maka otomatis, Islam menjadi fokus garapan kantor ini.
Nama Snouck cukup dikenal sebagai kepala komisaris kantor tersebut, selain nama besarnya dalam studi Islam di Hindia Belanda. Rekam Jejak Snouck cukup istimewa, ia berhasil membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda meningkatkan kewaspadaan kepada Politik Ummat Islam. Snouck meyakinkan Pemerintah Belanda agar mereduksi Islam sekedar berkembang menjadi agama ibadah saja. Politik Islam yang menjadi inspirasi perlawanan terhadap pemerintah Kolonial, sedikit banyak dikurangi.
Kejeniusan Snocuk tidak lepas dari kenyataan dirinya adalah seorang Muslim, dengan menyamar sebagai Abdul Gaffar, Snouck telah mempelajarai Islam di Mekkah. Dan yang tidak kalah penting, Snocuk didampingi seorang Ulama, yaitu Sayyid Utsman. Rekam jejak Sayyid Utsman, terbilang kontroversi pada zamanya. Disaat para Ulama lain, gigih menentang pemerintah Kolonial. Ia justru ada dalam Kubu seberang, tak jarang Sayyid Utsman menjadi santapan empuk kritik Ulama saat itu, ia dituduh menjual Agama kepada Pemerintah Kolonial.  hal ditambah kenyataan bahwa Sayyid Utsman adalah seorang mufti di wilayah Batavia.
Namun Sayyid Utsman juga tidak sedikit mendapat pujian, terutama karena keuletan Sayyid Ustsman dalam menentang Bid’ah yang berlindung di balik baju tradisi dan budaya. Oleh sebab itu, tidak sedikit yang menyebutnya sebagai “Ulama Pembaharu”.
Sekilas Sayyid Utsman
Sayyid Utsman dilahirkan di Pekojan, Betawi, pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 (1822 M). Ayahnya, Abdullah, dan kakeknya ‘Aqil, dilahirkan di Makkah, tetapikakek ayahnya, Umar, dilahirkan di Hadramaut tepatnya di desa Qârah Âl Syaikh. Mengenai kakek Sayyid Utsman, ‘Aqil, informasi dari Snouck hanya menjelaskan bahwa dia adalah seorang yang cukup terhormat di Makkah. Jabatannya sebagai syaikh al-sâdah (pemimpin para sayyid) disandangnya selama 50 tahun. Ia kemudianmeninggal dalam penjara Syarif Akbar. Sedangkan ibu Sayyid Utsman bernamaAminah adalah putri dari Syekh Abdurrahman al-Mishri, seorang ulama keturunanMesir yang sudah ada di Indonesia.
Sayyid Utsman pun diasuh oleh kakeknya, Abdurrahman al- Mishri. Melalui kakeknya,pula Sayyid Utsman mendapatkan pengajaran membaca al-Qur`an, akhlak, ilmu tauhid, fikih, tasawuf, nahwu sharaf, tafsir-hadis dan ilmu falak.Sayyid Utsman berangkat ke Makkah ketika usianya 18 tahun. Ia berada di sanadalam rentang waktu antara tahun 1840 sampai 1847. Selain untuk menunaikan ibadah haji, perjalanan ini juga dimaksudkan untuk mengunjungi ayahnya.
Ia melanjutkan Setelah tujuh tahun di Makkah, Sayyid Utsman melanjutkan kembaliperjalanannya ke Hadramaut pada tahun 1264 (1848) dan mengambil pengetahuan kepada para ulama Hadramaut. Hasrat Sayyid yang masih lapar akan ilmu, membuat ia melancong ke Madinah, Mesir, Tunisia, sampai ke Istanbul. Pada tahun 1862 ia pulang ke Indonesia melalu Singapura. Ia menuju tanah kelahiranya, di Batavia.
Malang melintang mencari Ilmu, kedatangan Sayyid Utsman cukup disegani para Ulama kala itu, meskipun Sayyid Utsman meanmpilkan sikap yang merendah. Syekh Abdul Gani Bima, yang sudah sepuh, meminta ia mengganti mengajar di masjid pekojan. Berkat ketinggian Ilmunya pula, ia diangkat menjadi Mufti di tanah Betawi.
Sayyid dan Snouck
            Hubungan Sayyid Utsman dengan Pemerintah Kolonial sudah terbentuk jauh sebelum Snouck datang ke Indonesia, dan menjabat sebagai kepala kantor urusan pribumi (Kantoor voor Inlandasche Zaken). Sayyid Utsman diangkat menjadi penasehat urusan arab pada 1891.
            Alasan pengangkatan Sayyid Utsman tidak lepas dari kondisi masyarakat arab di Indonesia saat itu. Awalnya, masyarakat Arab ayng digambarkan sebagai masyarakat yang mencintai baca tulis, berfokus pada urusan perdagangan, sementara dalam urusan sosial Politik, masyarakat Arab tidak memiliki rasa simpatik yang tinggi.
            Namun sejak munculnya semangat Pan Islamisme, yang ditadai dibukanya konsulat Turki d Batavia. Masayarakat Arab mulai berbicara tentang Hak Hak Politiknya, terutama sejak masyarakat Arab dimasukan “Kelas Dua“, dibawah kedudukan orang Eropa, bersama orang china dan golongan lain. Meskipun nasib mereka lebih baik daripada Pribumi, yang ditempatkan sebagai masyarakat kelas tiga.  
            Khawatir akan adanya pemberontakan, pihak Belanda mengangkat Sayyid Usman sebagai penasehat Pemerintah Kolonial untuk urusan Arab, Ia dipilih karena kualitas keilmuan Sayyid Usman.  Jauh sebelum diangkat, Sayyid Usman telah bekerjasama dengan K.F Holle, untuk pembuatan Peta Hadaramaut. Keintelektualan Sayyid Usman dibuktikan dengan cukup produktifnya ia menelurkan tulisan. Kebanyakan tulisan Sayyid Usman berkisar pada semangat penolakanya pada praktik praktik Bid’ah, yang sebenarnya dialamatkan kepada gerakan gerakan tasawuf.
            Sebelum kedatanganya, Snouck telah mengenal Sayyid Ustman lewat tulisan tulisanya, yang menurut Snouck akan sangat membantu kebijakan Pemerintah Kolonial. Sikap negatifnya terhadap tasawuf, membuat Sayyid Ustman mengutuk Pemberontakan Petani Banten yang diinisiasi oleh para sufi. Sang Mufti memberi pendapat ganjil, bahwa pemberontakan rakyat Banten bukan Jihad melawan orang kafir, karena tidak memenuhi syarat syarat Jihad, meskipun ia tidak memberikan gambaran Jihad secara utuh.
            Ajakan Snouck untuk mendampinginya sebagai peneliti, makin membuat posisi Sayyid Utsman kian penting. Ia berfungsi memberikan informasi kepada Snouck tentang perkembangan Islam pada kala itu. Bahkan dengan keluasan Ilmu Fiqihnya, terkadang Sayyid Ustman dipandang memberikan pendapat yang sejalan dengan kepentingan Pemerintah Kolonial.
            Hal ini terjadi dalam kasus pembangunan masjid baru di Palembang. Pembangunan masjid baru, diperlukan, karena jamaah semakin mebludak. Namun, hal ini menimbulkan justru menimbulkan perselisihan, peradilan agama dan residen merestui pembangunan masjid baru, sedangkan Sayyid Utsman berpendapat pembangunan masjid baru tidak sejalan dengan Madzab Syafii yang banyak dianut di Indonesia.
            Mengutip pendapat Imam Syafii, bahwa jarak satu masjid dengan masjid yang lain, adalah sampai adzan masjid yang satu dengan yang lain tidak terdengar. Yang menurut Snouck adalah kira kiar sejauh dua kilometer. Bahkan menurut Sayyid Ustman, pembangunan masjid baru ini semacam pembanguna masjid Dhirar yang dibangun pada masa Rasulullah. Masjid Dhirar merupakan masjid yang dibangun oleh kaum munafik, untuk tujuan melawan Rasulullah.
            Pembatasan pembangunan masjid, sedikit banyak menguntungkan Pemerintah Kolonial, karena semakin terbatas pula sarana dakwah yang strategis bagi Ummat Islam. Dan dengan kenyataan ini, semakin minim pula terbuka peluang melakukan program aksi massa untuk membangkitkan kesadaran Ummat akan penindasan Pemerintah Kolonial.
Sayyid versus Tasawuf
            Predikat sosok kontroversi pada Sayyid Utsman, dimulai dari keberpihakanya kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, meskipun disaat yang sama, banyak Ulama yang mulai terpengaruh ide Pan Islamisme dan aktif menentang Kolonialisme. Dalam hal ini, Peran Sayyid Utsman, terbilang ganjil, Sayyid Utsman juga terlihat melawan arus saat berbicara tentang Pemberontakan Petani Banten, yang ia anggap bukanlah jihad, karena tidak memenuhi syarat syarat Jihad.
            Pandangan keagamnaan Sayyid Utsman cenderung puritan, dan amat tegas dalam menentang Bidah dan Tahayul. Sayyid Utsman disebut Azra memiliki pandangan syariat yang sempit, Syariat menurutnya, hanya berkutat pada masalah ritual. Kritik utamanya adalah terhadap Tasawuf dan Tarekat yang dianggap membawa praktik praktik menyimpang dari Syariat Islam. Dari hal ini bisa dilihat, kritik Sayyid Utsman yang memukul rata pemberontakan  Petani Banten, sebagai gerakan non jihad, karena syarat syarat tidak terpenuhi. Besar kemungkinan Sayyid Utsman, reaksi negatif ini dimaksudkan untuk mencibir gerakan tarekat yang menurutnya menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
            Kita bisa mengawali dengan peristiwa cianjur 1885. Kala itu, Tarekat Naqshabandiyah, tumbuh subur, dan pemerintah Hindia Belanda cukup was was, karena keberadaan Tarekat ini berpotensi menggangu keamanan dan ketertiban. Puncaknya Sayyid Utsman mengeluarkan fatwa sesat aliran Tarekat ini, karena menyimpang dari Islam yang murni. Dasar Fatwa ini, kemudian dijadikan dasar bagi Pemerintah Kolonial untuk memecat penghulu besar Sukabumi dan Cianjur karena terlibat dalam Tarekat Naqshabandiyah.
            Dalam tulisan tersebut, Sayyid Utsman mengkritik keras Syech Ismail Al Minangkabau, yang merupakan pembawa ajaran Tarekat Naqshabandiyah ke Nusantara. Kritik ini memunculkan respon dari seorang murid Syech Ismail, dengan nama Pena Tuanku Nan Garang. Ia menerbitkan naskah “Cerita Perbantahan Dulu Kala”, yang merupakan respon atas tulisan dari Sayyid Utsman.
            Cerita Perbantahan Dulu Kala (selanjutnya disebut CPDK) pun memuat pembelaan terhadap Syech Ismail Al Minangkabau dari serangan Salim bin Abdullah bin Sumair serta Syech Nawawi Bantani. Senada dengan Sayyid Utsman, Salim bin Abdullah melihat Tarekat Naqshabandiyah bukanlah merupakan ajaran Islam yang murni.
            Oleh CPDK kritik Salim bin Abdullah dikaitkan konteks waktu itu, Salim bin Abdullah baru saja dipecat dari Mufti kerajaan Yaman, ia mengalami kesulitan ekonomi dan terdampar di Singapura. Diwaktu yang sama, Syech Ismail al Minangkabau yang baru tiba dari Mekkah,  dalam waktu yang singkat memperoleh simpati dari masyarakat melayu.
            Sedang Syeh Nawawi al Bantani, awalnya enggan terlibat polemik dengan Tarekat Naqshabandiyah. Ia memiliih jalur moderat, namun setelah didesak oleh Sayyid Utsman, ia menyerang tatacara dzikir Tarekat Naqshabndiyah, yang berisi celaan untuk orang yang tidak mau masuk tarekat. Oleh CPDK, Syech Nawawi dianggap mengkritik tanpa dasar.
            Puncaknya adalah kritik Sayyid Utsman, selain menyebutkan kesasatann tarekat, Tarekat ini dikhawatirkan menyebabkan gangguan keamanan dan ketertiban. Oleh CPDK, Kritik Sayyid Utsman tidak memiliki dasar yang kuat, kritik Sayyid Utsman lebih tertuju kepada personal Syech Ismail Al Minangkabau, bukan kepada substansi Tarekat itu sendiri. Syech Ismail mendapat simpati dari masyarakat melayu, sehingga menimbulkan rasa iri kepada Ulama lain.
            Polemik terhadap Tasawuf bisa dilacak pada zaman kesultanan Aceh Darussalam sekitar akhir abad ke-17, tepatnya di masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1637-1641). Konflik atau ketegangan politik keagamaan tersebut berawal dari adanya kontroversi atas doktrin wah}dat al-wujud) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani. Ulama yang menentang keras ajaran tersebut adalah Nuruddin al-Raniri yang sempat berada di Aceh tahun 1637-1644

Kamis, 19 Mei 2016

Pemalang dan Legenda Pangeran Benawa

Dalam website Pemalangkab.co.id disebutkan pada 1575, Pemalang berhasil membentuk pemerintahan tradisional. Tokoh yang berperan penting adalah Pangeran Benawa. Diceritaka Pangeran itu asal mulanya adalah Raja Jipang yang menggantikan ayahnya yang telah mangkat yaitu Sultan Adiwijaya. Banyak yang meyakini, Beliau adalah pendiri Kabupaten Pemalang.
Namun siapakah beliau, benarkah ia Putra Jaka Tingkir yang sakti madraguna itu, lalu apa yang membuat beliau sampai di Pemalang. Mari kita simak cerita berikut.
Sultan Adiwijaya atau Sultan Hadiwijaya adalah nama lain dari Mas Karebet atau Jaka Tingkir. Seorang Kestria Jawa yang terkenal akan kesaktianya. Kisahnya yang masyhur semisal menaklukan sekumpulan Buaya, dan membunuh prajurit sakti bernama Dadangawuk hanya berbekal daun sirih.
 Jaka tingkir sebelumnya hanyalah Adipati di Pajang. Sebuah pemerintahan di bawah Kerajaan Demak. Demak kemudian memindah kekuasaan ke Pajang, setelah Putra Sultan Trenggono, Sunan Prawata dibunuh oleh Arya Penangsang,. Arya Penangsang pun berhasil membunuh suami Ratu Kalinyamat. Jaka Tingkir kemudian diangkat menjadi Raja Pajang, dan Demak menjadi Kadipaten di bawah Pajang. Setelah sebelumnya menjadi kerajaan.
Ratu Kalinyamat membujuk Jaka Tingkir untuk membunuh Arya Penangsang. Namun tidak bisa karena, Jaka Tingkir dan Arya Penangsang saudara seperguruan dari Sunan Kudus. Namun Purwadi (2007) menulis, Arya Penangsang berniat memberontak kepada Jaka Tingkir, karena status Jaka Tingkir yang hanya keponakan dari Sultan Trenggono, bukan putra Mahkota.
Kemudian diadakan sayembara, untuk menghadapi Arya Penangsang. Siapa yang bisa menaklukan Arya Penangsang, ia dijanjikan kawasan Mataram di Jogja dan Pati di pesisir utara pantai jawa. Pada akhirnya terpilih Ki Agung Pemanahan dan Ki Penjawi. Singkat cerita, Arya Penangsang akhrinya tewas oleh Sutawijaya, anak dari Pamanahan.
Setelah tewasnya Arya Penangsang, Penjawi dihadiahi Pati oleh Jaka Tingkir, namun Jaka Tingkir sempat menahan Hadiah tanah berupa Mataram kepada Ki Ageng Pemanahan. Jaka tingkir percaya ramalah Sunan Giri, bahwa Mataram kelak akan menjadi kerajaan yang lebih maju daripada Pajang. Namun setelah dibujuk Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir memberikan juga kepada Ki Ageng Pemanahan.
 Sedang Ki Ageng Pemanahan, hanya diwajibkan laporan kepada Pajang, sebagai simbol kesetiaan meskipun tanpa memberika pajak dan upeti. Setelah Ki Ageng wafat, tahta diberikan kepada Putranya yaitu Sutawijaya, ia kemudian diberi hak untuk tidak menghadap ke Pajang.
Pajang curiga dengan gerak gerik mataram, kemudian diutuslah Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil. Mereka berkesimpulan, Sutawijaya agak kurang sopan dan terkesan memberontak. Jaka Tingkir kemudian mengutus rombongan kedua, yang dipimpin oleh Pangeran Benawa (Putra Mahkota), Arya Pamalad (Adipati Tuban), dan Patih Mancanegara. Rombongan ini malah dijamu dengan Pesta oleh Sutawijaya
Namun terjadi insiden, seoran prajurit Tuban mati oleh Raden Rangga (Putra Sutawijaya) karena didesak oleh Arya Pamalad pada saat Pesta. Mereka kemudian melapor kepada Pajang, Jaka Tingkir berniat menyerang, namun diyakinkan oleh Pangeran Benawa bahwa insiden itu murni kecelakaan.
Puncaknya adalah seorang Keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang,. Raden  Pabelan, menerobos Keputrian dan menemui Ratu Sekar Kedaton (Putri bungsu Jaka Tingkir). Akibatnya Raden Pabelan, dihukum mati. Dan Tumenggung Mayang, ayah dari Raden Pabelan dihukum buang, karena diduga membantu perbuatan anaknya.
Istri Tumenggung Mayang, meminta bantuan kepada Mataram untuk membebaskan Tumenggung Mayang. Dan sutawijaya pun mengutus orang, untuk membebaskan Tumenggun Mayang. Akibat perbuatan lancang ini, Jaka Tingkir merasa perlu untuk menyerang Mataram. Dan perang pun tidak terelakan.
Namun, meski berjumlah lebih banyak. Pasukan Pajang menderita kekalaahan Jaka Tingkir terdesak, ia merasa di ujung hidupnya. Ia berpesan kepada penerusnya, siapapun yang menjadi Raja Pajang selanjutnya, untuk tidak memusuhi Sutwaijaya, selain karena anak angkatnya, peperangan dengan Mataram merupakan sebuah takdir. Jaka Tingkir pun meninggal sekitar tahun 1582.
Kekosongan tahta di Pajang menimbulkan perebutan kekuasaan. Sebagai Putra Mahkota, Pangeran Benowo lebih berhak meraih tahta kerajaan pajang, namun Arya Pangiri Suami Ratu Pembayun, putri tertua Jaka Tingkir, merasa lebih berhak untuk tahta pajang. Ia beranggapan usia Pangeran Benawa lebih muda daripada Istrinya. Pendapat ini didukung oleh Panembaha Kudus (Pengganti Sunan Kudus). Pangeran Benawa akhirnya hanya menjadi Bupati Jipang.
Namun kepemimpinan Arya Pangiri disebut mudah curiga. Ketika kerajaan Aceh mengirim utusan untuk meminta bantuan mengusir Portugis dari Malaka, Arya Pangiri malah membunuh utusan tersebut. Aceh kemudian meminta bantuan Turki Ustmani, meskipun pada kahirnya berakhir gagal dalam mengusir Portugis.
Arya Pangiri, hanya berfokus bagaimana mengalahkan Mataram. Ia bahkan membentuk pasukan dari Demak, Bali, dan Bugis untuk menyerbu Mataram. Sedang para Prajurit Pajang sendiri, disingkirkan Arya Pangiri, mereka yang kecewa terhadap Arya Pangiri kemudian memilih mengabdi kepada Pangeran Benowo.
Pangeran Benowo merasa prihatin dengan keadaan rakyat Pajang. Ia yang terkenal berwatak halus dan lembut itu, kemudian bersekutu dengan Sutawijaya dari Mataram untuk menggempur Pajang. Kebetulan keduanya sedari kecil sudah akrab, karena Sutawijaya dianggap anak angkat dari Jaka Tingkir. Gabungan antara pasukan Jipang dan Pasukan Mataram berhasil menurunkan Arya Pangiri dari Tahta, Arya Pangiri kemudian dipulangkan ke Demak.
Pangeran Benawa kemudian naik tahta menjadi Raja Pajang dan bergelar Prabuwijaya. Namun ia tidak lama duduk sebagai Raja di Pajang. Purwadi  (2007) berpendapat Pangeran Benawa mengalami banyak pertentangan, karena kebijakan politk ekspansinya, terutama dari Jawa bagian tengah dan timur. Ia pun berupaya memindahkan tahta kerajaan dari Pajang ke Mataram.
Sungguhpun demikian, Pangeran Benawa ditulis Purwadi (2007) termasuk orang yang peduli terhadap Pendidikan, ia bisa menyeimbangakn pendidikan Umum dan Agama. Kelak dari konsep ini, lahirlah tradisi Pondok Pesantren, yang menjadi ciri khas pendidikan Nusantara.
Keberhasilan ini tidak lepas dari didikan yang terarah lagi sistematis dari Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya. Selain terkenal karena kesaktianya, Jaka Tingkir dikenal menciptakan wayang Kencana, yang berukuran lebih kecil dari wayang biasanya. Jaka Tingkir pun memiliki pujangga, yang bernama Pangeran Karanggayam. Ia berhasil menciptakan serat nitisrutiyang berisi ajaran moral dan mistik kejawen.
 Pangeran Benowo yang terus mendapat tekanan, kemudian memilih menyepi di gunung dan tirakat. Nah, sampai disini kemudian timbul perbedaan dimanakah kemudian Pangeran Benawa menyepikan diri. Misalnya, Graff dan Pigeaud (1985) berpendapat, Pangeran Benawa menyepi ke daerah Kedu. Sementara ada pendapat pula, yang menyatakan Pangeran Benawa pindah ke barat dan membangun Pemalang.
Hal ini dibuktikan dengan adanya sebuah makam, yang diduga sebagai tempat persemayaman Pangeran Benawa di desa Penggarit, Kabupaten Pemalang.
Pangeran Benawa memiliki Putri yang bernama Dyah Banowati. Ia dijodohkan dengan Mas Jolang anak dari Sutawijaya. Dari pernikahan keduanya melahirkan Sultan Agung, raja terbesar mataram. Dari silisilah Pangeran Benawa, didapati anam Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Ronggowarsito dan Yosodipuro, keduanya merupaka Pujangga termasyhur dari Kasunanan Surakarta.
Daftar Pustaka
Abimanyu, Soedjipto, Babad Tanah Jawa, 2014, (Jogjakarta : Laksana)
De Graaf & Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, 1985, (Jakarta : Grafitti Presss)
Purwadi, Sistem Pemerintahan Kerajaan Jawa Klasik, 2007, (Medan :Penerbit Pujakesuma)
Purwadi, Kraton Pajang; Titik temu dinasti Kerajaan Jawa, 2008, (Jogjakarta: Panji Pustaka)


Senin, 16 Mei 2016

Kaki kiri Joko



            Bola sepak menggelinding kepada Joko kecil, riuh teriakan anak anak tanggung memerintah Joko kecil agar segera mengembalikan kepada mereka. Sore seru, rupanya mereka sedang bermain sepak bola, di belakang sebuah Madrasah. Joko selalu menyempatkan antusiasmenya kepada Sepak Bola, kebetulan Ridwan, kakak laki lakinya sedang bermain. Ia mengidolakan Delpiero sebagai pemain bola, tubuhnya kecil mirip joko, namun lincahnya bukan main, dan tendanganya pun luar biasa.
            “woy, cepat lempar”
            “iya mas, bentar” Joko menjawab
            Dari  jarak lima meter lemparan joko tidak sampai ke lapangan, tanganya terlalu lemah melempar bola, kebetulan kakinya ikut terpeleset , dan buuk, joko kecil mengaduh kesakitan, segera semua lapangan menertawakan aksi kecil joko, cukup lama mereka tertawa disertai ejekan.
            “Wah.. lempar bola aja jatuh, masa mau jadi pemain bola”
            “bolanya ngak sampai lagi, udah main bekel aja sana”
            Mereka kembali tertawa, ridwan sang kakak justru larut dalam tawa teman temanya. Namun, segera sadar ia melanjutkan permainan sepak bola. Joko merengut, menggerutu dalam hati, entah sudah berapa kali ia datang ke lapangan sebagai penonton, ia berangkat dengan kakaknya dari rumah bersama, namun beda nasib ketika di lapangan, meski berbekal sepatu sepak bola.
            Seusai pertandingan, para pemain melepas penat di pinggir lapangan, beberapa asik bermain passing, mencoba Shotting, dan beberapa terlibat pendinginan, joko segera memakai sepatu dan larut dalam permainan passing. Ridwan di pinggir lapangan Cuma tersenyum simpul, Zaki, rekan satu timnya menepuk pundak Ridwan.
            “Keren kamu bro, dua gol dari tendangan bebas semua”
            “hahaha, kipernya aja nga teliti” Ridwan merendah
            “alaaah, jangan merendah gitu lah, sering kok kamu gini”
            “liat noh, adikmu” ujar zaki dengan senyuman mengejek.
Memang Joko terlihat konyol, setelah memakai sepatu di akhir latihan, ia ikut beberapa pemain yang terlibat passing game, satu dua sentuhan di kaki Joko, mereka bubar, Joko tak kurang akal, ia bermain joggling sendiri dan hanya satu dua sentuhan, bola kemudian menyentuh tanah. Beberapa yang berlabuh di pinggir lapangan tersenyum melihat aksi Joko. Joko mulai kesal, ia ingin membuktikan dirinya bisa bermain sepak bola.
            “Mas Yuli, kiper ya”
            “Aku mau nendang”
            Terlihat Yuli, sang kiper andalan masih berdiri di Mistar, melakukan pendinginan. Yuli mengiyakan dan Joko bersiap menendang. Joko menendang, dan blassh, tendanganya ternyata cukup keras, namun, owwh, Bola malah mengarah ke masuk ke Madrasah, kontan semua tertawa terbahak bahak, Yuli enggan mengambil bola, karena tau Madrasah  itu terkenal angker.  
            Joko kembali meringis, ia harus nekat melompat pagar ke madrasah. Joko memang terbiasa sowan ke madrasah, selain dulu menjadi sekolahnya. Hampir setiap latihan, Joko bertugas mengambil bola yang melambung jauh dan berteduh di madrasah. Setelah tugasnya usai, Joko baru bisa bermain game. Joko tidak senasib dalam menunaikan tugas, ia bersama beberapa anak yang terpaut tiga tahun usia dibawahnya, mereka pun mendapat kesempatan main setelahnya.
            Garuda Muda FC, memang bukan tim kacangan di Kota Joko. Beberapa trofi sudah mampir di lemari Garuda Muda. Mereka memiliki beberapa lapis tim, Joko masih ditempatkan di Lapis C bersama anak SMP, meskipun ia sudah menginjak jenjang SMA. Skillnya terbilang kurang, banyak seusia Joko yang tidak lagi meneruskan bermain sepak bola, karena memang skillnya kurang kemudian beralih ke hobi lain, namun tidak dengan Joko yang tetap berlatih keras. Kebetulan hari itu, memang jadwal latihan tim senior, dan tim lapis C di hari yang lain.
            Berbeda dengan Ridwan, Kakak Joko. Ia gelandang cerdas dengan tendangan keras, kehebatan bermain tidak hanya dikenal dalam satu kota saja, beberapa bulan lalu, sebuah klub professional  asal Bandung mencoba melawar ridwan, Ridwan menolak dengan alasan fokus kuliah. Ridwan menjadikan sepakbola sekedar sampingan saja, ridwan bercita cita menjadi Arsitek handal. Kebetulan beberapa bulan lagi, ia merengkuh gelar sarjana. 
            Berbeda dengan joko yang memiliki keinginan kuat menjadi pemain bola. Joko terus berlatih fisik, tubuhnya terbilang atletis, karena setiap hari ditempa latihan keras. Sesudah Shubuh, sebelum berangkat sekolah, siang sehabis sekolah, dan Sore, lapangan bola samping madrasah menjadi menu latihan joko sendiri. Ia terus berlari kecil, seolah tak peduli omongan orang.
            Yani, kakak perempuan Joko sudah memperingati adik kecilnya. Prestasi akademik Joko akhir akhir ini menurun, meski bukan tergolong anak yang bandel. Di sekolah Joko, tampak tak bugar dalam menempa pelajaran. Joko sering tertidur pulas, tubuhnya letih, terkuras dari latihan yang berat sejak pagi.  
            “Jok, jangan main bola terus” ujar yani pelan.
            “ah, mbak tahu apa sih, yakin mbak kalo latihan terus pasti bisa” “Nada Joko meninggi.
“ih, kamu dibilangin ngeyel, lihat nilai sekolahmu, mana ?, ada yang bagu ndak?”
 “setiap hari kerjanya cuma lari lari, kapan kamu belajar ?"
Joko terdiam murung. Entah sudah berapa kali ia kena marah kakak perempuanya yang terbilang cerewet. Yani, kakak joko memang terbilang peduli pendidikan kepada adik adiknya. Ridwan, hampir sama dengan Joko ketika masa SMA dulu, namun Ridwan diarahkan fokus kepada bidang akademik, meskipun kemampuan sepak bolanya terbilang hebat, Ridwan bahkan pernah masuk seleksi timnas junior, namun gagal.
“contoh itu lho mas mu, Pinter, kalau tidak mau kuliah mau jadi apa kamu”
 Joko sesekali melirik jam, sudah hampir dua jam ia membisu menjadi amarah kakaknya. Ridwan terkadang membela Joko ketika dirundung amarah kakaknya, namun Ridwan sedang mengikuti turnamen futsal bersama teman temanya. Sang Ayah, masih belum pulang menjual Es Campur. Ibu joko sudah tiada empat tahun lalu, Ibu Joko orang yang paling mendukung impianya. Joko masih ingat, Sebuah Sore yang basah, ibunya rela, mengantar kedua putranya berlatih bersama Garuda Muda. Hujan besar seusai latihan dengan ketersediaan satu payung, Joko dan Ridwa berjalan dengan satu payung, sedang sang ibu rela berjalan ditempa hujan sore. Sampai akhirnya, Kanker ganas memaksa Ibu Joko berjumpa Tuhanya.
“Pokoke aku meh bal balan, aku wis sungkan sekolah” ketus joko, berlalu dari pandangan Yani. Ia masuk kamar, mematkan lampu dan pulas dalam mimpinya. Yani mengelus dada, dan melapor kepada Ridwan dan Ayahnya ketika keduanya pulang, yani berharap keduanya bisa membujuk Joko untuk fokus kepada pendidikan.
Kerja keras Joko berbuah manis, satu tahun latihanya ia masuk ke tim lapis kedua, meski berperan sebagai cadangan. Meski tak sepandai kakaknya, Fisik joko terbilang kuat dalam berduel. Joko tak sungkan bertubrukan dengan lawan lawanya. Kelemahan Joko ada pada skill dan ketenangan bermain, seringkali dalam pertandingan besar, ia melakukan kesalahan, seperti salah umpan. “kali ini kamu main inti ya jok, tolong jaga pertahanan sisi kanan, sayap kiri mereka lincah sekali, ndak usah overlapping”. Ujar pelatih member kepercayaan kepada Joko.
Joko tidak ingin menyalahi amanah yang diberikan pelatihnya. Memang pertandingan ini sekedar persahabatan, namun pertandingan ini dalam rangka persiapan turnamen yang diadakan di Surabaya bulan depan. Ia harus berebut tempat dengan Fadli, bek kanan yang tak kalah garangnnya, kebetulan saudara Fadli ada yang sakit, hingga ia tidak bisa menjalani pertandingan.
Sampai babak pertama berakhir, kedua tim bermain ketat, Joko bermain luar biasa. Ketangguhan fisiknya berhasil meredam Haris, sayap kiri tim lawan yang terkenal licin. Babak kedua dimulai, Haris diganti, Joko tersenyum. Artinya ia bisa overlapping dengan bebas, namun dari sinilah kesalahan ini dimulai.
Pengganti haris memang tidak lincah, namun pelari yang cepat, Joko yang kalah sprint akibat membantu menyerang membuat garuda muda tertinggal 1-0. Tim lawan berhasil menggandakan kedudukan, Joko terlalu asik bermain bola di belakang, hingga pemain lain merebut bola dan menyarangkan bola ke Garuda Muda.
Evaluasi setelah pertandingan, Joko tertunduk lesu. Memang tidak ada yang menyalahkanya dalam pertandingan ini. Ia merasa bersalah, dan meminta maaf kepada teman temanya. Pengumuman daftar pemain pun keluar, nama joko tidak ada dalam daftar pemain yang ikut ke Surabaya, posisinya diganti Agus, adik tingkatnya yang bermain luar biasa pada pertandingan persahabatan yang lain.
Joko sepertinya tidak hanya terlatih secara fisik, namun juga mental yang tangguh. Ia masih ingat pesan ibunya ketika masih hidup, agar segera bangkit seusai gagal, dan jangan pantang menyerah. Joko tahu, ia harus berlatih dengan keras, meski tak lama lagi Ujian Nasional semakin dekat, Yani, sang kakak tertua semakin banyak mengelus dada.
***
“Jok, ojo lali, nanti bapak periksa di Pak Fahmi” Ujar Yani.
“nanti ingetin bapak, suruh minum obat”.
“iya mbak” Joko menjawab dalam keadaan terengah, ternyata ia sedang Push Up.
Memang radang tenggorokan Ayah Joko semakin tidak baik, seminggu sekali ia harus ke Dokter untuk chek up. Setelah Yani menikah, dan ikut suaminya, Ridwan juga memperolah pekerjaan di Luar Kota, praktis Joko sendiri tinggal bersama ayahnya. Joko memilih tidak kuliah selepas SMA, ia hanya mengikuti Kursus Komputer  pada Kelas Malam di Kotanya. Ia tetap memelihara harap untuk menjadi pemain Bola. Sisa waktu, ia bantu ayahnya berjulan es campur di Pasar samping Stadion.
“uwis pak, besok ndak usah jualan, biar joko wae”
“bapak besok istirahat, tadi pak dokter bilang gitu”
“alah, bapak pernah yang lebih parah” Ayah Joko agak ngeyel
Joko paham, ayahnya tak mungkin absen hanya gara gara sakit tenggorokan. Ia pekerja keras. Terlebih usaha Es Gerobak kecilnya adalah warisan kakeknya dulu, meski Ridwan dan Yani sudah menyuruh bapaknya untuk berhenti berjualan, biar gerobak dijual saja.namun bagi bapak, adalah pantangan untuknya “nanti sebelum lampu merah, mampir ke Bakso Pak Herman, bapak lama ngak mampir” kebetulan gerimis beranjak kepada hujan.
“Dulu Pak Herman ini, jualnya pakai gerobak kaya bapak ini”
“Cuma sekarang dia punya toko, bapak belum” Ayah Joko tertawa kecil.
Joko Cuma bergumam saja, ia bergejolak sejak dari ruang tunggu dokter fahmi, ia ada seleksi tim futsal untuk turnamen di Surabaya sore ini. Joko dengan cepat melahap Bakso, agar segera usai mengantar ayah bertemu kawan lama. Ia berdoa, ayah segera habiskan bakso, dan pulang.
“Koe ra pingin kuliah jok”
Joko semakin terpojok, serasa dunia beserta isinya menindih tubuhnya Sore itu. Pertanyaan singkat, namun berat untuk dijawab. Joko ingin segera berteriak kepada ayahnya, ia sedang ditunggu teman temanya, dan akan joko jawab pertanyaan santai ayah sehabis bermain futsal. 
“wis, bapak bisa biayai sendiri, bapak yang Cuma SD wae, bisa kuliahkan mas dan mbakmu” cegah bapak joko
“kalo Cuma kursus komputer, ..”
“Joko pingin dadi pemain bal pak” Joko memotong dengan suara lirih. Ia melirik jam di pojok warung, ia lunglai dan pesimis, bisa mengejar seleksi tim futsal. Ia sudi untuk dengar nasihat bapak, Ayah Joko memang membebaskan anaknya untuk kuliah apa saja, yang terpenting berapa duit yang dibutuhkan, ia akan segerea penuhi.
“kenapa to, kamu pengen jadi pemain bola”
Joko menunduk dan tak tau apa yang harus ia katakana” tiba tiba HPnya bergetar, satu pesan masuk. Seleksi ditunda nanti malam, pelatih masih di luar kota. Iqbal. Isi pesan singkat itu  seolah membuat Joko terbang ke Surga, ia serasa menghirup segarnya udara pagi ranu kumbolo. Ia tampak tersenyum simpul karena masih ada kesempatan”
“kenopo mas.” Ayah joko bingung
“mboten pak” Joko tampak sumringah.
“Joko pingin dadi pemain timnas pak, mengharumkan nama bangsa” Joko tampah terharu dengan perkataanya sendiri.
“Ah koe ki, ngeyel kayak ibumu dulu”ayah joko tersenyum simpul.
“umurmu uwis tua kalo mau jadi pemain bola jok”
“kan Almarhum Ibu sendiri yang bilang, jangan pernah menyerah dengan cita cita kita”
 “iyo bapak ngerti, tapi ya…”
Hujan tambah deras, petir bagai lampu blitz berkejaran memburu artis, kemudian diikuti suara menggelegar, nasihat lirih ayah joko semakin tak terdengar. Sehabis itu, keduanya larut dalam lamunan dan sisa makanan masing masing. Entah sudah berapa kesempatan, Ayah Joko membujuk putranya untuk berkuliah saja, daripada sekedar kursus.
Joko beralasan ingin merintis karier di klub lokal dengan senantiasi berlatih di Sore hari. Jika Joko kuliah, maka ia akan berada di luar kota, karena kebetulan di Kota kecil Joko tidak ada universitas. Bulan lalu, ia juga sempat bertengkar dengan ridwan yang bersedia membiayai kulihah joko, namun ditolak mentah mentah.
”wis karepmu, tak bilangin sekali lagi”
“dadi pemain bal iku, ndak ada duitnya”
Ridwan melotot marah di depan Joko yang mendekap erat kedua sepatunya. Ia tahu sepatunya akan dibuang atau mungkin dibakar kakaknya, seperti minggu yang lalu. Joko hanya terdiam lesu, tertunduk, dan tetap ngeyel dalam diamnya. Sejak itu ridwan, memang jarang bicara dengan adiknya.
Sepeda motor yang ditunggangi Joko meleset kencang, hujan sudah reda, perut Kenyang terisi. Apalagi pak herman, ogah dibayar ayah Joko yang merupakan karib lama. Dari kejauhan  Lampu hijau ada di detik lima dan semakin berkurang, motor joko masih agak jauh, ia semakin kencang memacu motornya. Lampu sudah merah, Joko masih melesat kencang. Dari araha kiri, sepeda motor yang sama kencangnya melaju. Dan… braaaaak.
Keduanya terpental jauh, joko dan ayahnya tergeletak berjauhan bersimbah darah. Pengendara motor satunya, tak kalah naas, dengan tersungkur dengan banyak luka. Tetiba semuanya ramai, Joko semakin terbayang seleksi tim futsalnya, ridwan, mbak yani, ridwan, bapak yang penuh luka, dan samar samar suara ibunya.
***
Rumah joko ramai. Disesaki lantunan ayat qur’an, yang terkadang diselingi sesenggukan. Ridwan, Yani, dan Joko kini yatim piatu. Mereka berjejer, dengan wajah lebam tangisan satu malam, ayah joko telah tiada, luka di kepala akibat kecelakaan tempo hari cukup fatal. Joko divonis cacat permanen pada kaki kirinya, ia berjalan dengan dibantu dua tongkat, ia. Sesekali tangan kirinya mengusap air mata yang kian berderai.
Seluruh anggota tim, gagal berangkat mengikuti turnamen. Mereka memilih mendampingi Joko yang terkena musibah. Mereka menguatkan Joko, meski impianya menjadi pemain bola telah pupus dengan kaki yang cacat. Ridwan, terus mendampingi joko yang terus tersedu di hari kematian ayahnya.
***
Deru tepuk tangan menggema di sebuah auditorium kampus, peserta dengan pakaian necis dirundung rasa penasaran. Dengan seksama mereka terbius pengalaman para pembicara yang sukses megembangkan usahanya di usia muda. Sesekali mereka menunduk, mengusap gadetnya, mengangkat tinggi tinggi dan cekritt.. , beberapa bergantian memfoto para pembicara.  
“Kuncinya adalah jangan meyerah dan sabar”
“tidak usah banyak teori, langsung kerja dan segera dibereskan”
Rupayan salah satu diantara mereka adalah Joko, ia begitu bersemangat menularkan pengalaman bisnisnya kepada generasi muda. Ia kini menjadi pengusaha es pedas, meneruskan bisnis  Almarhum ayahnya. Rukonya sudah bercabang hingga keluar kota, omsetnya puluhan juta dalam sebulan, ia bahkan mempekerjakan beberapa temanya yang putus sekolah.
“oh iya satu lagi kuncinya, sebaiknya teman teman jangan kuliah”
Serentak peserta terbahak mendengar ucapan nyeleneh Joko.
Joko tampil santai dengan kaos sepakbola, ia sempat menceritakan kisah sedih dengan tongkat dan kaki kirinya, berbekal sertifikan Kursus dan SMA ia sempat melamar kerja di berbagai tempat namun selalu ditolak, karena kakinya cacat. Impian menjadi pemain sepak bola yang terkubur, sempat membuatnya pesimis untuk hidup. Hingga suatu hari ia melihat gerobak es ayahnya yang menganggur, dan bertekad meneruskan usaha ayahnya.
“wah.. awalnya berat adek adek, dua minggu saya buka jualan, yang beli bisa dihitung”
Namun tekad bulat hidupnya, membuat ia terus bertahan, hingga lahirlah ide es pedas. Usaha yang unik ini, digandrungi anak muda di kotanya, usahanya terus berkembang, dari awalnya mulai menyewa ruko, hingga bisa membeli sebuah ruko tersendiri. Ia membuka cabang di banyak tempat. Ridwan dan Yani hanya tersenyum adiknya bisa sesukses ini.
Impian menjadi sepak bola memang terkubur dalam, namun dalam setiap pertandingan ia selalu hadir, namun bukan sebagai penonton. Ia hadir sebagai donator tetap Garuda FC. Dengan kekuatan finasialnya, ia bisa mengangkat Garuda FC yang sempat terpuruk karena krisis finasial.