Selasa, 07 Januari 2014

Kaum Intelektual di tahun Politik


kaum intelektual adalah ibarat orang yang berumah di atas angin.
Kepala tidak menyentuh langit, kaki tidak menginjak bumi (Julian Benda).
Di Era Kejayaan Teokrasi Gereja Katolik Roma, tak ada yang lebih ditakuti daripada seorang Galileo Galilei. Begitu juga saat Kerajaan Orde Baru, tak ada yang lebih ditakuti daripada Tubuh Kering Widji Tukul atau kritik tajam Amien Rais. Intelektual, begitulah mereka disebut. Selalu menjadi oposan dan batu sandungan dalam pemerintahan manapun.
            2014, tahun begitu ditunggu, diharap dan begitu dipuja. Apalagi kalau bukan kehormatan, uang, dan (mungkin) ideologi akan dipertaruhkan dalam sebuah gelanggang politik bernama Pesta Demokrasi. Wajah selebritas pemilu detik demi detik memenuhi ruang public, wajah mereka bukan asing di mata publik. Mulai dari artis, pengusaha, Ulama, aktivis sosial, dan satu lagi yaitu kaum intelektual.
            Memang benar, dewasa ini, ranah politik bukanlah lagi (meminjam istilah gramsci) dominasi masyarakat politik saja. Gelombang perpolitikan sekarang ini mulai mengajak para intelektual keluar dari laboratorium dan perpustaakaanya. Kepandaian, kehormatan, dan kecermatan para intelektual dimata masyarakat sekarang harus berbaur dengan dunia politik yang bengis, kotor, dan penuh kemunafikan.
            Sifat bak malaikat, cerdas, santun, dan ramah yang kemudian disederhanakan menjadi warna putih nan memesona. Sedang dunia politik,yang telah dihujat media, masyarakat, serta dipenuhi begundal begundal busuk, sederhananya dicitrakan sebagai warna kusut nan hitam. Sekarang keduanya telah padu dan berwarna abu abu, hanya ada dua kemungkinan saja, dunia politik itu memutih ataukah kaum intelektual itu terseret dalam lubang jahanam.
            Seakan menjadi semacam konsensus seluruh dunia, bahwa jabatan adalah selalu memesona. Ia bagai seekor kelinci montok di sarang serigala yang lapar. Jabatan politik ini,  Bahkan disebut seorang Abraham Maslow sebagai hierarki tertinggi dari seluruh kehidupan manusia. Ia diburu untuk dinikmati, disantap, dan untuk asupan syahwati.
            Dilema, iya dilema
Secara perlahan, (pasti) disadari atau tidak, oleh cendekiawan (demikian pertanyaanya mempertimbangkan intelegensi mereka), di era demokrasi ini,  memasuki jabatan publik bak menjejakan satu kaki kedalam penjara, dan satunya, berdiri di atas dewi keberuntungan sembari berdoa, semoga saja, selamat sampai tujuan.
Apologi berupa hanya ulah oknum saja, sekiranya harus mempertimbangkan survey Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mencatat sudah sebanyak 81 anggota DPR terjerat kasus korupsi. Senada, catatan Kementrian Dalam Negeri mencatat jumlah anggota DPRD yang terjerat kasus hukum sudah 431 orang, dan 81,3% adalah kasus korupsi. Dan banyak pengamat mengatakan, ini hanyalah fenomena gunung es saja.
            Gampangnya,saat ini kaum intelektual sedang dihidangkan buah simalakama. Bagaimana tidak, kekacauan dalam gemerlap panggung politik jelas menggugah rasa tanggung jawab sosial kaum intelektual. Tak ayal, ribuan artikel dan buku tebal tak henti hentinya dicetak dan diterbitkan kaum intelektual. Ratusan bahkan ribuan seminar, lokakarya, ataupun forum diskusi diselenggaran, dari yang bernada jenaka, eufimis, hingga sarkas semuanya tertuju mengkritik panggung politik.
            Namun, apa?. Seolah kritik dari kaum intelektual hanya menjadi pengantar dongeng tidur saja, bahkan mungkin menjadi legenda. Buktinya maksiat individu atau jamaah masih banyak dilakukan. Itu tandanya menjadin pengamat dan tukang kritik tidak cukup efektif merubah keadaan.
Pilihan masuk gerbong perpolitikan juga bukan ide bagus, selain menanggung cost yang tidak sedikit. Perang dengan selebriti lain juga harus menjadi strategi yang harus dipikirkan, tidak hanya ikut meramaikansaja. Yang jelas, setiap saatnya ia harus perang dengan nuraninya ketika menjumpai strategi kotor. Misalnya saja, politik uang. Jika demikian halnya, apa bedanya ia dengan politikus pragmatis nan tunavisi.
Namun, genderang perang bintang sudahlah ditabuh. Untuk saat ini kita hanya bisa berdoa saja, kaum intelektual yang sudah bersiap duduk dikursi panas haruslah tabah dan sabar menghadapi godaan. Toh, rumah sejarah juga kabarkan berita baik, tidak semua intelektual adalah begundal ketika masuk dalam ruang politik.
Tokoh sekaliber Sutan Takdir Alisjahbana pun pernah menjadi anggota PSI dan mewakili partai itu di Konstitusnte. Nurcholish Madjid juga menjadi anggota MPR. Beliau bahkan pernah menjadi juru kampanye PPP dalam Pemilu. Aktivisme dan intelektualisme adalah dua aspek yang saling berdekatan dan saling memperkaya. Tentu tidak “pas” juga, nama sekaliber Kong Fu Tse atau Ibnu Khaldun digelari “Begundal” karena keterlibatan mereka dalam politik.
Sebagai hiburan, ketika pesimis melihat begitu terjalnya meraih jalan kekuasaan, disaat sekeliling kita dipenuhi budaya permisif dan immoral. Tak ada salahnya kemudian melancarkan kritik terhadap pejabat yang tidak amanah. Toh, bukankah menunjukan sikap kritis adalah salah satu budaya politik partisipan, yang jauh dari budaya apatis ataupun anomie.



Senin, 06 Januari 2014

Reformasi (hukum) seperempat hati


                Tepat di tahun 2014 ini, Era reformasi sudah berjalan selama 16 tahun, pesan dan kesan selama keotoriteran raksasa kekuasaan orde baru hanya menjadi mimpi lalu saja. Pembangunan dan restrukturasi di segala lini kehidupan menjadi prioritas kedepanya, borok birokrasi dan pembangunan harus segera diremajakan.
                Namun sepertinya ada satu estafet dan penyakit genetic orde baru yang diwarisi era reformasi dewasa ini. Di awal reformasi, kumandang hukum sebagai panglima sekaligus pemberantasan KKN  menjadi paradigma reformasi. Namun sejatinya, Pembangunan hukum yang mencakup struktur, substansi, dan kultur hukum masih berjalan parsial dan satu sisi saja. Unsur substansi hukum memang sudah baik dengan digulirkanya supremasi hukum, namun tidak dengan struktur yang mencakup aparat hukum dan kultur hukum yang menyangkut pola pemahaman masyrakat kepada hukum an sich.
                Struktur hukum yang menyangkut tentang aparat dan penegak hukum belumlah berjalan dengan baik. Polisi, Hakim, Jaksa, dan Pengacara belum bisa menunjukan kulitas sesuai paradigma hukum sebagai panglima. Determinasi kekuasaan despotik yang masih bercokol dalam tubuh pemerintahan reformasi ini membuat sturktur penegakan hukum masihlah lemah.
Kedzaliman despotic kekuasaan ini ditambah dengan sifat para penegak hukum yang disebut Mahfudz Md sebagai gejala Kancil pilek. Ialah semacam gejala ambil aman, takut salah, cari perhatian kepada atasan yang melakukan penyimpangan. Gejala kancil pilek ini membuat para penegak hukum menjadi setengah setengah dan ragu menindak kedzaliman pusat kekuasaan.
Dekadensi kualitas penegak hukum ini membuat kepercayaan masyarakat kepada penegakan hukum menjadi lemah. Hal ini dibuktikan dengan banyakanya kasus “main hakim sendiri”, “perang antar suku” atau “KUHP (Kasih Uang Habis Perkara)” yang dilakukan masyarakat. Potret buram ini menandakan masyarakat enggan menginjak jalur normatif dan lebih memilih jalur represif dan instan dalam menyelesaikan persoalan.  
Arus Positivisme
                Positivisme ialah salah satu aliran dalam filsafat hukum yang dibawa Augusto Comte yang mengartikan hukum adalah perintah yang bersumber dari otoritas yang berdaulat dalam masyarakat. Hukum ini mentahbisakan setiap masyarakat harus mematuhi aturan yang dikeluarkan otoritas yang berwenang dan perintah ini mengandung ancaman keburukan, yang akan berlaku jika perintah itu tidak dilaksanakan. (Ahmad Ali : 2004).
                Dalam lalu intas penegakan hukum di Indonesia sendiri, arus positivisme seakan menjadi dogma utama dalam penegakan hukum. Frame yang terbentuk dalam benak penegak hukum bahwa hukum hanyalah sesuatu yang tertulis dan harus menihilkan nilai nilai moral membuat masyarakat sulit mendapatkan keadilan. Bahwa aturan demikianlah yang harus diterapkan, entah mereka itu kaum papa, teraniyaya, koruptor, ulama, semuanya harus sama, meski dengan kadar yang berbeda dalam kenyataan.
                Dalam paradigma positifisme ini, hukum bukan ditujukan pada masyarakat, namun kepada kemerdekaan individu yang menghendaki kepastian hukum. Seakan logis, maka ketika nilai keadilan dan kemanfaatan hukum yang dikehendaki masyarakat bertentangan dengan kepastian, maka boleh disingkirkan. Tak heran, sampai hari ini rakyat kita terus menjadi langganan penegakan hukum atas nama juknis dan juklak.
Resistensi Progressif
                Kenyataan ini sebenarnya tidak lepas dari peran penegak hukum yang memandang hukum sebagai profesi, yang selalu melihat logika hukum itu berasal dari undang undang atau kita sebut saja terlalu Legal Positifism. Hal ini kiranya sangat jauh dari kenyataan bahwa hukum sebagai ilmu, yang mempunyai nilai bagi masyrakat luas.
                Kenyataan demikian, bukanya tanpa resistensi. Apalagi setelah semakin lama menjamur dalam penegakan di Indonesia, perlu adanya suatu terobosan dan pemikiran. (Alm) Prof Satjipto Rahrdjo adalah salah satunya, beliau membidani gagasan Hukum Progressif. Bagi beliau Hukum merupakan ilmu sebenarnya (genuinescience), ia melanjutkan ilmu selalu berusaha memahami dan melihat kenyataan dan logika social yang hidup dalam masyarakat. Yang tiap waktu dan keadaan selalu Up to date, tanpa kehilangan arah nilai nilai dasar keilmuan itu sendiri.
Kiranya kita tidak usah menangisi kenyataan sistemik demikian, Vonis 12 tahun untuk Angelina Sondakh dan 18 tahun bagi Lutfi Hasan Ishaq (meski belum inkracht) bisa dijadikan cermin, bahwa gagasan progressif siap dibiakkan. Gagasan progressif ini bisa menjadi puzzle pembangunan hukum yang masih cacat dalam penegakan dan kultur hukumnya.
Namun bukan perkara mudah, gagasan ini masih harus menghadapi kekuasaan despotic yang masih menganut Machivellian. Mereka akan melakukan apa saja untuk mempertahankan kekuasaan, ditambah rapor penegak hukum masihlah merah, membuat trust dari masyarakat dalam membentuk kultur hukum masih sulit. Batu terjal ini yang menjadi tantangan para penegak hukum kedepanya dalam mewarnai era reformasi.

                Dengan demikian benar ungkapan Cicero, seorang Filsuf Yunani, bahwa ibi societas ibi ius (tiada masyarakat tanpa hukum).  Bahwasanya pembangunan di era reformasi di bidang politik, ekonomi, social, budaya dan lainya tanpa disertai dengan pembangunan hukum akan tampak timpang. Hingga detik ini pembangunan hukum lebih mengarah kepada yang berpunya dan bermuka, bukan pada masyarakat luas, jika demikian benar adanya,maka bisa dikatakan reformasi (hukum) hanyalah berjalan seperempat hati.