kaum intelektual
adalah ibarat orang yang berumah di atas angin.
Kepala tidak
menyentuh langit, kaki tidak menginjak bumi (Julian Benda).
Di Era Kejayaan Teokrasi Gereja Katolik Roma,
tak ada yang lebih ditakuti daripada seorang Galileo Galilei. Begitu juga saat Kerajaan
Orde Baru, tak ada yang lebih ditakuti daripada Tubuh Kering Widji Tukul atau
kritik tajam Amien Rais. Intelektual, begitulah mereka disebut. Selalu menjadi
oposan dan batu sandungan dalam pemerintahan manapun.
2014,
tahun begitu ditunggu, diharap dan begitu dipuja. Apalagi kalau bukan
kehormatan, uang, dan (mungkin) ideologi akan dipertaruhkan dalam sebuah gelanggang
politik bernama Pesta Demokrasi. Wajah selebritas pemilu detik demi detik
memenuhi ruang public, wajah mereka bukan asing di mata publik. Mulai dari
artis, pengusaha, Ulama, aktivis sosial, dan satu lagi yaitu kaum intelektual.
Memang
benar, dewasa ini, ranah politik bukanlah lagi (meminjam istilah gramsci) dominasi masyarakat politik
saja. Gelombang perpolitikan sekarang ini mulai mengajak para intelektual
keluar dari laboratorium dan perpustaakaanya. Kepandaian, kehormatan, dan
kecermatan para intelektual dimata masyarakat sekarang harus berbaur dengan
dunia politik yang bengis, kotor, dan penuh kemunafikan.
Sifat
bak malaikat, cerdas, santun, dan ramah yang kemudian disederhanakan menjadi
warna putih nan memesona. Sedang dunia politik,yang telah dihujat media,
masyarakat, serta dipenuhi begundal begundal busuk, sederhananya dicitrakan
sebagai warna kusut nan hitam. Sekarang keduanya telah padu dan berwarna abu
abu, hanya ada dua kemungkinan saja, dunia politik itu memutih ataukah kaum
intelektual itu terseret dalam lubang jahanam.
Seakan
menjadi semacam konsensus seluruh dunia, bahwa jabatan adalah selalu memesona.
Ia bagai seekor kelinci montok di sarang serigala yang lapar. Jabatan politik
ini, Bahkan disebut seorang Abraham
Maslow sebagai hierarki tertinggi dari seluruh kehidupan manusia. Ia diburu
untuk dinikmati, disantap, dan untuk asupan syahwati.
Dilema,
iya dilema
Secara perlahan, (pasti) disadari atau tidak,
oleh cendekiawan (demikian pertanyaanya mempertimbangkan intelegensi mereka),
di era demokrasi ini, memasuki jabatan
publik bak menjejakan satu kaki kedalam penjara, dan satunya, berdiri di atas
dewi keberuntungan sembari berdoa, semoga saja, selamat sampai tujuan.
Apologi berupa hanya ulah oknum saja,
sekiranya harus mempertimbangkan survey Indonesia Corruption Watch (ICW) yang
mencatat sudah sebanyak 81 anggota DPR terjerat kasus korupsi. Senada, catatan
Kementrian Dalam Negeri mencatat jumlah anggota DPRD yang terjerat kasus hukum
sudah 431 orang, dan 81,3% adalah kasus korupsi. Dan banyak pengamat
mengatakan, ini hanyalah fenomena gunung es saja.
Gampangnya,saat
ini kaum intelektual sedang dihidangkan buah simalakama. Bagaimana tidak, kekacauan
dalam gemerlap panggung politik jelas menggugah rasa tanggung jawab sosial kaum
intelektual. Tak ayal, ribuan artikel dan buku tebal tak henti hentinya dicetak
dan diterbitkan kaum intelektual. Ratusan bahkan ribuan seminar, lokakarya,
ataupun forum diskusi diselenggaran, dari yang bernada jenaka, eufimis, hingga
sarkas semuanya tertuju mengkritik panggung politik.
Namun,
apa?. Seolah kritik dari kaum intelektual hanya menjadi pengantar dongeng tidur
saja, bahkan mungkin menjadi legenda. Buktinya maksiat individu atau jamaah
masih banyak dilakukan. Itu tandanya menjadin pengamat dan tukang kritik tidak
cukup efektif merubah keadaan.
Pilihan masuk gerbong perpolitikan juga bukan
ide bagus, selain menanggung cost yang
tidak sedikit. Perang dengan selebriti lain juga harus menjadi strategi yang
harus dipikirkan, tidak hanya ikut meramaikansaja. Yang jelas, setiap saatnya
ia harus perang dengan nuraninya ketika menjumpai strategi kotor. Misalnya
saja, politik uang. Jika demikian halnya, apa bedanya ia dengan politikus
pragmatis nan tunavisi.
Namun, genderang perang bintang sudahlah
ditabuh. Untuk saat ini kita hanya bisa berdoa saja, kaum intelektual yang
sudah bersiap duduk dikursi panas haruslah tabah dan sabar menghadapi godaan.
Toh, rumah sejarah juga kabarkan berita baik, tidak semua intelektual adalah
begundal ketika masuk dalam ruang politik.
Tokoh sekaliber Sutan Takdir Alisjahbana pun
pernah menjadi anggota PSI dan mewakili partai itu di Konstitusnte. Nurcholish
Madjid juga menjadi anggota MPR. Beliau bahkan pernah menjadi juru kampanye PPP
dalam Pemilu. Aktivisme dan intelektualisme adalah dua aspek yang saling
berdekatan dan saling memperkaya. Tentu tidak “pas” juga, nama sekaliber Kong
Fu Tse atau Ibnu Khaldun digelari “Begundal” karena keterlibatan mereka dalam
politik.
Sebagai hiburan, ketika pesimis melihat
begitu terjalnya meraih jalan kekuasaan, disaat sekeliling kita dipenuhi budaya
permisif dan immoral. Tak ada salahnya kemudian melancarkan kritik terhadap
pejabat yang tidak amanah. Toh, bukankah menunjukan sikap kritis adalah salah
satu budaya politik partisipan, yang jauh dari budaya apatis ataupun anomie.