Minggu, 06 Oktober 2013

FENOMENA SERIKAT BURUH DALAM DIALEKTIKA HISTORIS,


Potret problem kontemporer dan tantangan masa depan
            Dalam memandang buruh secara filosofis, kita tidak akan lepas dari tokoh Karl Mark yang jelas jelas mendukung kaum buruh yang ia sebut Proletar. Marx kala itu bisa mengupas secara mendalam peran Proletar yang mengalami keterasingan atau Alienasi yang disebabkan eksploitasi dari kaum borjuis atau kaum pengusaha. Marx menyeru kepada kaum buruh untuk bersatu melawan kaum borjuis dan segera mengadakan revolusi untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat tanpa kelas dan kepemilikan.
Herijaya.com
            Dalil dari Karl Marx ini menciptakan suatu dogma baru yaitu Komunisme yang pernah dipakai sepertiga penduduk bumi ini. utamanya di negara negara berhaluan Kiri, memang negara negara komunis berusaha menciptakan tatanan masyarakat tanpa kelas yang pada faktanya berujung banyak menimbulkan korban jiwa. Pol Pot dan Mao Tse Tung adalah contoh diktator Komunis yang membunuh jutaan jiwa untuk dapat melaksanakan kehendaknya.
            Dalam perjuanganya, kolektivitas adalah keniscayaan bagi kaum buruh untuk menuntut hak haknya. Setidaknya ada empat manfaat organisasi buruh dalam posisi buruh dengan majikan, Pertama Organisasi buruh diberi peran sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaianperselisihan industrial. Kedua, Organisasi buruh diberi peran sebagai wakil buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan. Ketiga, Organisasi buruh diberi peran untuk ikut serta menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Keempat, Organisasi buruh diberi peran sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya (Abdul R. Budiono : 2009)
            Memang diakui pergerakan kaum kiri dalam organisir kaum buruh tidak bisa dipandang sepele. Namun dalam sejarahnya di Indonesia sendiri justru organisasi buruh pertama ialah bentukan para pegawai teras belanda pada tahun 1989 yang Indische Bond (Perserikatan Hindia). Disusul dengan didirikanya Insulinde yaitu organisasi yang menampung para pekerja peranakan Belanda. Namun organisasi ini tampak sedikit Ekslusif dan tidak mencerminkan perjuangan kaum buruh secara luas. Baru pada tahun 1905 terbentuklah Staats Spoor Bond (Perserikatan pegawai SS) yang bisa mengayomi kepentingan kaum buruh lintas etnis dan ras[1].
            Setelah itu, bermunculan pula organisasi kaum buruh yang lainya. Kesadaran diri sebagai kekuatan sosial yang perlu dipersatukan mendorong dilakukanya usaha usaha ke arah persatuan dan kesatuan buruh. Yang cukup dikenang adalah pada November 1919 di bawah tokoh SI dibentuklah panitia penggerakan kaoem Boeroeh (PPKB) dengan tugas mempelajari kebutuhan kaum buruh dan cara mempersatukanya. Akhirnya di bulan desember,  dibentuklah Persatoean Pergerakan Boeroeh (PPB) di bawah Semaoen sebagai ketua[2], kelak ia sendiri memisahkan sendiri dari Si dan membentuk SI Merah yang berhaluan kiri. Ia juga berhasil membuat para buruh mogok pada majikanya di beberapa kota besar sebelum tuntutanya dipenuhi[3].
            Setelah kemerdekaan rasa nasionalisme kaum buruh tergugah. Rasa memiliki bersama bangsa ini mendorong mereka juga untuk mengintegrasikan dalam usahanya melawan kolonialisme dan penindasan dengan secara aktif terjun kedalam kancah revolusi politik. Hingga untuk menciptakan hal itu dibentuklah, Barisan Buruh Indonesia (BBI). Namun BBI tidak cukup menarik perhatian kaum buruh hingga terciptalah, Laskar Buruh Indonesia dan juga Barisan Buruh Wanita.
            Namun dalam tubuh BBI sendiri timbul pertentangan, antara golongan yang berhaluan bersikap politis, dan golongan buruh yang bersikap lebih mengutamakan kesejahteraan buruh pada umumnya. Sikap dualisme dalam BBI ini akhirnya menimbulkan perpecahan seteleh kongresnya pada bulan november 1945 menyebabkan golongan yang berhaluan politik membentuk Partai Buruh Indonesia (PBI), juga golongan yang lebih berorientasi pada kesejahteraan buruh membentuk Partai buruh merdeka (PBM)[4].
            Di masa Orde Baru, kebijakan pembangunan yang digalakan Soeharto memang lebih terbuka, terutama untuk usaha asing setelah munculnya UU Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU  Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDM) yang bertujuan menarik investor sekaligus memperbanyak produksi dan membukan banyak lapangan kerja. Kebijakan penciutan jumlah partai sekaligus mengakhiri dualisme pandangan dalam sarikat perburuhan, terutama dengan terbentuknya Federasai Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) sebagai satu satunya organisasi resmi buruh di Indonesia[5].
            Terlebih setelah munculnya, Hubungan Perburuhan Indonesia (HPP) paradigma buruh yang berjalan secara vertikal dalam pandangan liberal maupun Marxis berubah menjadi buruh adalah partner bagi para pengusaha. Baik dalam produksi, tanggung jawab, maupun dalam keuntungan. Kesetaraan ini juga dilengkapi dengan  penyelesaian konflik antara pengusaha dan  buruh yang mengedepankan komunikasi, perundingan, dan musyawarah dalam suasana kerjasama antara buruh dan perusahaan[6].
            Sampai tahun 1978 permasalahan perburuhan tidak begitu muncul di permukaan, hal ini disebabkan tidak lain karena keadaan ekonomi yang membaik. Baru pada tahun itu permaslahan untuk kaum buruh mengemuka seperti perlakuan sewenang wenang, imbas resesi ekonomi tahun itu menyebabkan PHK menjadi 98 %. Terlebih penyelesaian lewat HPP mentah, malah banyak pengusaha yang tidak menjadikan buruh sebagai Partner, banyak juga regulasi regulasi yang dilanggar oleh kaum buruh. Puncaknya permintaan kaum pengusaha untuk memecat kaum buruh dalih menghindarkan perusahaan dari kebangkrutan disetujui oleh pemerintah[7].
            Pembabakan sejarah dari gerakan buruh bisa kita petakan, baik pra dan pasca kemerdekaan Gerakan politik buruh tidak bisa lepas dari pengaruh politik yang berkembang. Kausalitas perjuangan buruh dengan politik ada semacam kesinambungan, gerakan Pemogokan buruh yang dipelopori Semaoen dari SI merah menjadi cikal bakal  berdirinya Partai Komunis Indonesia, dan kelak di kemudian hari  salah satu organisasi besar buruh di Indonesia, Solidaritas Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) menjadi underbouw PKI. Begitu juga dengan Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) dengan NU, Gabungan Serikat-serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo) dengan Parmusi, Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBR I) dengan Murba, dan Sen-tral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOK SI) dengan militer/TNI. Pada era ini, relasi antar SB saling bersaing,  sebangun dengan sistem kepartaian Indonesia saat itu itu yang sangat kompetitif dan cenderung konflik-tual[8].
            Menginjak era Orde baru, gerakan buruh sempat diintegrasikan melalui FBSI dan regulasi khusus kaum buruh diatur dalam HPP, namun hal itu tidak berjalan di ranah realitas. Malah yang muncul eksploitasi kaum buruh semakin menjadi di era pembangunan itu. Dinalik tujuan pembentukan FBSI pada dasarnya adalah menutup akses politik kaum buruh, wacana wacana kaum buruh lebih banyak diarahkan kepada wacana kesejahteraan ekonomi, sehingga hak hak politis pada dasarnya di era ini benar benar di restriksi.
TANTANGAN ERA REFORMASI
Ancama neoliberalisme
            Jatuhnya era Soeharto di tangan rakyat membawa angin segar kepada kaum buruh, seetidaknya era reformasi diharapkan mengakhiri mimpi buruk kaum buruh yang telah banyak diterima di era Orde baru, ketika kaum buruh hanyalah dijadikan satu diantara banyak objek yang digunakan sebagai alat pembangunan, dengan kata lain buruh mengalami eksploitasi yang nyata melalui proses dehumanisasi.
            Namun bukanya era Soeharto lengser dengan mudahnya kebebasan dan konsep yang final bagi kaum buruh tetap tercapai. Dosa Orde baru dalam meracang konsep pembangunan menyebabkan investor asing banyak masuk kedalam Indonesia. Jelasnya ancaman bagi kelangsungan hidup buruh mengintai setiap waktu.
            Sejak diratifikasinya UU No 7 Tahun 1994 yang merupakan ketentuan ketentuan dari World Trade Organization (WTO), Indonesia benar benar memulai dan siap berkompetisi di pasar bebas[9]. Ketentuan ini mengharuskan Indonesia mempunyai kemampuan sama dengan negara lain dalam hal perekonomian, termasuk dalam hal cukai dan sebagainya. karena tujuan ratifikasi ini pada dasarnya membukan pintu pasar bebas masuk kedalam perekonomian indonesia.
            Namun wajah ini menampakan perspektif lain, pasar bebas adalah bentuk neoliberalisme yang materialistik dalam memandang segala sesuatu. Dengan pandangan demikian, konsep perolehan materi lebih ditekankan pada rasionalitas dan materialitas. Jargon mengeluarkan modal sekecil kecilnya dengan untung sebesar besarnya menjadikan Slogan pasar bebas di millenium ini. Konsep dasar liberalis ala Adam Smith yang tertanam dalam agenda pasar bebas menentang negara berperan dalam ikut campur menentukan kesejahteraan rakyatnya.
Akibatnya tidak hanya Alam saja yang dieksploitasi dan dikooptasi, namun buruh yang sejatinya sebagai manusia merasakan hal yang sama, buruh tidak lain hanyalah bagian dari alat produksi. Proses dehumanisasi ini hanyalah satu dari sekian agenda neoliberalisme di seluruh dunia, utamanya negara negara dunia ketiga.
Tentu saja bagi para buruh agenda Neoliberalisme sangatlah tidak menguntungkan, analogi mudahnya mereka telah lepas dari mulut buaya namun masuk kembali dalam mulut harimau. Problem simalakama ini bertambah miris ketika kebijakan kebijakan dari pemerintah lebih banyak menguntungkan pelaku usaha dari buruh itu sendiri. Outsorcing dan rendahnya UMK menjadi satu dari banyak conto kebijakan pemerintah yang pro pengusaha.
Yang menjadi masalah adalah basis ideologi yang diterapakan dalam kaum buruh masihlah galau dan gamang mencari wacana dan arah yang pas. Dekonstruksi ideologis dalam masa orde baru sangatlah kuat. Padahal sebelumnya bergaining position kaum buruh cukup kuat di era kolonial, pun saat soekarno masih memimpin.
Disaat transformasi kultur otoritarian ala orde baru ke arah yang demokrasi di era reformasi belum juga mendongkrak dekontstruksi ideologis kedalam organisasi buruh. Karena bagaimanapun, ideologi bukan hanya berbicara secara abstrak saja. Dalam praktisnya idea itu harus segera diturunkan menjadi sebuah azas dan langkah operasional. Namun tantangan liberalis cukup kuat dalam mengontrol kebijakan, meski pada dasarnya kita ada dalam negara demokrasi.
Minim kekuatan politis
            Ancama neoliberalisme memang mengancam kehidupan para buruh setiap waktu. Sistem neolib yang sudah mengakar kuat sejak era orde baru sebenarnya bisa pula diubah dan ditendang dari bumi Indonesia. Caranya ialah dengan masuk sebuah sistem maka bisa merubah sistem an sich. Kasarnya, dengan sedikit kekuatan politis buruh punya kesempatan merubah nasib mereka
Namun, hasil survei Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) bertajuk “Orientasi Politik Buruh dalam Pemilu Legislatif 2009” menunjuk kan, mayoritas buruh tidak mengetahui keberadaan Partai Buruh, mayoritas buruh tidak memiliki pengetahuan yang cukup baik terkait visi, misi dan program (platform) partai politik, dan mayoritas buruh masih menghendaki SB tidak terlibat dalam urusan politik praktis. Survei ini memberi gambaran awal kepada kita bahwa tingkat pengetahuan, kesadaran, dan partisipasi politik buruh masih terbilang rendah; belum mampu memaksimalkan ruang demok ratisasi politik yang tersedia sebagai arena penting perjuangan struktural buruh di pentas politik negara[10]
Sebenarnya yang menjadi topik hangat untuk perbincangan adalah, kaum buruh mempunyai sejarah manis dalam afiliasianya dengan partai politik dalam posisi tawar dengan pemerintah. Seperti disebutkan diawal, misalnya SOBSI dengan PKI, Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) dengan NU, Gabungan Serikat-serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo) dengan Parmusi, Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia (SOBR I) dengan Murba, dan Sen-tral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOK SI) dengan militer/TNI.
Begitu juga di negara lain, Di Eropa, Jerman, misalnya, serikat buruh relatif independen. A filiasinya biasanya ke Partai Sosial De-mok rat, Partai Buruh ataupun komunis. Mereka biasa-nya bergabung ke dalam kelompok partai beraliran k iri. Sementara itu, asosiasi pengusaha akan lebih condong kepada partai-partai politik yang , katakanlah, konser va-tif atau liberal. Oleh karena itu, ketika pemilihan umum maka suara-suara yang akan diberikan kepada partai politik, katakanlah, dari kelompok buruh akan relatif lebih jelas[11].
Namun faktanya di tahun 2000-2001 partai partai buruh tidak mengalami kenaikan dalma suara. Akibatnya suara mereka di Parlemen nyaris tidak ada. ada banyak penyebab mengapa buruh di Indonesia termasuk gagal dalam gelanggang politik, dengan bekal puluhan ribu anggota, seharusnya mobilisasi masa bisa punya potensi mengebrak partai partai besar. Apa pasal hingga hal demikian terjadi.
Pertama, Ketidakmatangan serikat buruh dalam terjun kedalam gerakan politik. Basis gerakan sosial yang masih melekat erat di Orde Baru masih mengakar hingga kini. Jelas gerakan sosial dan gerakan politik mempunyai prinsip prinsip yang berbeda. Meski dilahirkan dari entitas yang sama, misal konflik, ikatan primordial, pandangan dan dogma, namun jelas di era kontemporer ini berbeda. Secara singkat saja, yang membedakan adalah bergaining position antara gerakan sosial dengan gerakan politik. Gerakan politik jelas punya posisi tawar dan negoisasi yang lebih dengan pemerintah, beda dengan gerakan sosial yang hanya berkutat diluar parlemen, dalam kasarnya tidak bisa ikut andil dalam menelurkan kebijakan.
Kedua, sebagai sebuah hasil studi sementara-ke-tika pemilu, serikat pekerja tidak menjadikan identitas pekerja sebagai identitas politik nya. Sebalik nya, yang muncul adalah identitas politik yang lain, misalnya, pilihan ideologis, agama ataupun yang berkaitan dengan historis. Jadi, tidak ada pertimbangan pilihan politik yang sifatnya lengkap[12].

Ketiga, rendahnya pemahaman politik pada tingkat Grassroot. Pada tingkat graasroot, hal hal semacam ini memang cukup menjadi fakta yang cukup banyak diperbicangkan. Tidak semua apa yang menjadi ideologi golongan dapat diterjemahkan secara pasti oleh tingkat Grassroot, ambil contoh saja pemikiran Gus Dur tidak semua pemuja beliau bisa mengartikan apa yang ada di pikiran beliau. Akhirnya, meski dengan massa yang cukup massif, namun kegamangan ideologi dan minimnya pemahaman dari tingkat grassroot hanya membawa beban tersendiri pada serikat buruh pada umumnya.
Memang untuk saat ini berbicara modal mobilisasi masa cukuplah menunjuk serikat buruh sebagai modal awal konstituen buruh. Saat ini, pertumbuhan serikat sangat luar biasa, tetapi sebenarnya ia mewak ili populasi yang sebenarnya tidak mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jadi, sebenarnya, justru terjadi fragmentasi. Ada perdebatan, misalnya, ada undang-undang yang membiarkan serikat membuat kelompok kecil-kecil, namun itu juga karena ada pada persoalan gerakan buruh itu sendiri. Dan mungkin memang ada kemacetan demok rasi di tingkat internal. Beberapa serikat cukup demok ratis, tetapi be-berapa yang lain cukup mempertahankan betul domi-nasi elit sehingga tidak terjadi sirkulasi. Oleh karena itu demokratisasi itu sangat penting[13].





[1] Lihat Suri Suroto, 1985,  Gerakan buruh dan permasalahanya, Jurnal Prisma Edisi 11 Tahun XIV, Jakarta, LP3ES, hlm 27. 
[2] Suri Suroto, Op Cit, hlm 28
[3] Kuntowijoyo, Op Cit, hlm 42
[4] Lihat Suri Sunarto, Loc Cit, hlm 29
[5] Loc Cit, hlm 32
[6] Ibid,
[7] Op Cit, hlm 33
[8] Jurnal Sosial Demokrasi, 2011, editorial : Buruh dan Politik, Jakarta, Perkumpulan Sosdem Indonesia, hlm 8
[9] Lihat Absori, 2010, Hukum Ekonomi Indonesia;Beberapa Aspek pengembangan pada era perdagangan, Surakarta, Muhammadiyah University Press, hlm 111. Beliau lebih menekankan ratifikasi yang telah disetujui sejatinya transformasi dari regulasi yang ada di WTO. Dengan meratifikasi konvensi itu, Indonesia telah bersiap pada era perdagangan, namun, lanjut beliau, substansi dari prinsip regulasi yang bercorak indiviual materilistis itu pada dasarnya malah bertentangan dengan corak kultur masyrakat kita yang komunal.
[10] Jurnal Sosial Demokrasi, Op Cit, hlm 10-11
[11] Ibid, hal 13
[12] Ibid, hal 22
[13] Ibid