Selasa, 11 November 2014

Soekarno, orasi dan Pamflet


            Hari ini pemimpin dipersepsikan secara tidak utuh, ekletis, maupun secara parsial. Makna kepemimpinan hari ini, dibangun tidak lebih dari runtuhan bangunan citra pemimpin yang idealnya. Pemimpin hari ini lebih banyak ditampilkan sebagai orator ulung, maupun sebatas simbolis, semisal pemakaian kostum milik pemimpin terdahulu.
            Sekedar contoh, Pemilu Presiden bulan lalu menjadi kontes “adu mirip” Soekarno. Ada yang mengikuti Jejak rekam Soekarno yang gemar menyapa sudut kecil bangsa ini, yang penuh cerita dan tangis pilu. Ada yang berias diri tampak semacam Soekarno. Berpeci, berbaju lapangan dan siap berbaur dengan kalangan pinggiran. Di kompetisi lain, semacam pemilu gubernur maupun bupati kemampuan Soekarno menghipnotis massa mulai banyak dilirik sebagai syarat kemenangan. Janji dan Orasi yang menggebu khas Soekarno mulai banyak dilirik, adrenalin massa lebih banyak tersentuh lewat cara demikian, hal ditambahkan dengan goyangan seronok yang memancing syahwat, efek psikologis ini cukup tepat untuk memancing banyak massa, mengingat demokrasi kita hari ini butuh suara yang gemuk.
            Kehebatan Soekarno yang kemudian menjadi “Mata Air Keteladanan”, nyatanya tidak diterapkan secara Holistik. Bangsa kita mengenal Soekarno hanya dari ketenaran orasi dan sembilan istrinya. Sementara, kehidupan Intelektual Soekarno adalah cerita yang ganjil. Tidak banyak yang tahu Soekarno pernah menyamar menjadi nama “Bima” agar tidak diendus pemerintah Kolonial ketika menerbitkan tulisan. Soekarno yang gemar menulis ini, tak sungkan mengutip pemikir pemikir Dunia, Semacam Karl Marx, Voltaire, Ilmuwan Politik Ernest Renan, maupun pendiri Tiongkok Sun Yat Sen.
            Soekarno mengintegrasikan kehidupan Intelektual dalam kepemimpinan. Dalam beberapa hal, ia tampak semacam seorang filsuf.  Filsuf adalah jabatan yang hanya didapat dengan bertemu, menyapa, dialog dengan segala bentuk manusia, kemudian kontemplasi yang panjang dan renungan yang mendalam, hingga terlahir sebuah gagasan. Gagasan itu adalah sebuah spirit menuju sebuah cita cita luhur. Kemerdekaan menjadi satu gagasan agung Soekarno, disamping itu  ia sempat mewariskan Marhaenisme bagi bangsa ini.
            Kehidupan langka Soekarno ini, tidak banyak dilirik. Kehidupan yang semakin hedonism memacu mereka membunuh waktu untuk berkejar materi. Hakikat Intelektual Sejati tentunya sulit bersanding dengan materi. Bangsa kita rindu akan Soekarno, orasi, dan kepemimpinanya. Pemimpin kita hari ini memberi orasi dan citra seolah dirinya adalah titisan Soekarno di era kini. Para “titisan” ini masih lantang menerikan Jasmerah, tetapi mereka terlalu berjarak dengan literasi, berfikir materialis, maupun memusuhi rakyat.
Mahasiswa dan Pamflet
            Tumbangnya raksasa kekuasaan orde baru, tidak bisa dilupakan dari riak riak menentang gemuruh gerakan mahasiswa. Orasi tak kenal henti, membuat sang diraja Soeahrto lengser keprabon, rupanya keberhasilan inilah yang membuat silau mahasiswa saat ini dalam upaya yang sama, menjatuhkan otokrasi dan melawan kedzaliman. Orasi menjadi bekal mahasiswa untuk menusuk kekuasaan, hingga akhirnya latihan kepemimpinan hanya dipusatkan bagaimana mahasiswa disiapkan adu mulut di jalalanan.
            Tesis ini dimulai dari latihan kepemimpinan yang terepresentasi dalam secarik pamflet. Dalam setiap pamflet latihan kepemimpinan, mayoritas bergambar siluet orang yang berorasi. Dengan menggenggam Megaphone di tangan kanan, dan telunjuk tangan kiri menenteng ke atas atau bisa sebaliknya.
Tangan kiri adalah simbol ketidaksopanan dan ketabuan dalam keseharian. Terlebih dalam spektrum ideologi, kiri adalah simbol pertentangan. Penggunaan Megaphone dan telunjuk dengan tangan kiri, melukiskan sebuah potret perlawanan dan pertentangan. Nalar kita akan membaca situasi ini persis sebuah demonstrasi di jalanan yang kini menjadi ajang popular (dan eksis) bagi mahasiswa.
            Pamflet semakin menunjukan mahasiswa menerjemahkan kepemimpinan adalah orasi semata. Dalam setiap pamflet nihil kemudian ditemukan buku maupun pena, sebagai simbol dari membaca dan menulis. Siluet manusia merenung dengan ditopang tangan kanan didagu sebagai simbol kontemplasi, juga tidak tampak dalam pamflet yang ditempel di setiap sudut kampus. Kutipan Kutipan kepemimpinan dari tokoh ternama lebih banyak menghiasi tampilan pamflet, daripada motivasi untuk bergiat membaca dan menulis.
            Gambaran dalam Pamflet ternyata seturut dengan Latihan Kepemimpinan yang diadakan. Semisal dalam sebuah latihan kepemimpinan gerakan mahasiswa. Kader baru lebih banyak diarahkan kepada teknis memobilisasi massa, menyebarkan agitasi, maupun negoisasi dengan pihak kemananan. Sementara kegiatan diskusi yang potensi melahirkan gagasan tidak banyak dilirik, lebih lebih kontemplasi dan refleksi. Penugasan pembuatan artikel dengan cara Copas, tidak banyak mendapat kecaman, meskipun disaat yang sama, sebuah tuduhan zhalim tertuju pada seorang intelktual mengcopas sebuah tulisan.
            Jika mahasiswa hari ini adalah pemimpin masa depan, maka kita harus akui. Pemimpin masa depan kita adalah orator ulung yang nihil akan gagasan gagasan spektakuler. Meskipun mereka mengutip kata kata Soekarno, orasi Soekarno, maupun kostum Soekarno. Mereka tak jauh beda dengan pemimpin pemimpin zaman ini, yang terampil berbicara namun sangat telat dalam berfikir dan memotong kehidupan Intelektual Soekarno.
            Padahal, mengutip Asep Salahudin (Kompas; 2014) kepemimpinan dengan daya imajinasi tinggi dan pijakan ideologi yang jelas adalah sebuah kebutuhan bangsa ini. Imajinasi yang menjulang, lebih dari spirit mewujudkan sebuah cita cita di masa depan. Hal ini bisa didapat dengan bergelut dengan literasi, bercengkrama dengan rakyat, dan refleksi yang mendalam.