Ramadhan memang
sudah di ujung, 10 hari terakhir diriwayatkan menjadi malam sakral untuk benar
benar bermunajat kepada Tuhan. Tuah Lailatul Qadr (malam yang lebih baik dari
seribu bulan) yang hanya satu malam diantara malam malam yang ganjil, membuat umat
sibuk ibadah total sepanjang malam sembari menahan hasutan untuk memperbarui
sandangan.
Dibalik itu,
seluruh segi kehidupan kita seakan sudah dipantau oleh kotak kecil bernama televisi.
Ya benar, tak terkecuali ramadhan kali ini. dari menit awal memulai puasa,
sampai di puncak hari kemenangan televisi seakan menjadi teman setia dalam
bulan yang penuh berkah ini.
Memang program
program Tv selama bulan ramadhan dikemas untuk lebih islami. Tengok saja
program program parodi yang sering diatayangkan, sekarang para aktor lebih sopan dengan simbol yang
lebih islami. Para perempuan gemar
memakai kerudung, dan lelaki memakai baju koko.
Lain pula acara dengan
kompetisi antar dai di salah satu stasiun TV yang malah menyerupai acara
parodi. Kesyubhatan ini Nampak dari Durasi tausiah dari yang peserta kalah lama
dengan lawakan Pembawa acara, jargon mencetak dai dai masa depan pun
dipertanyakan. Dai Dai kita dicetak melalui poliing SMS, Nasib Ummat ditentukan
lewat Polling SMS.
Mereduksi Substansi
Entah seperti
apa selebrasi bulan ramadhan yang ada dalam pikiran para produser acara acara
tersebut. Pastinya kita berdoa para produser juga memiliki kepedulian pada
ummat yang semakin merosot kualitas pemahaman agamanya, menghadapi kenyataan
demikian tayangan yang mengandung asupan keimanan harus semakin digencarkan.
Pun sebait doa agar mereka tidak sekedar mengejar rating.
Di Bulan suci
ini, nafas islami semakin mengental dengan ditayangkanya beberapa kisah masa
lalu. Sejarah menempati posisi penting dalam wilayah keumatan ini. Disanalah
gegap gempita keberhasilan dan kejayaan tertulis, tangis kegagalan dan kekalahan telah terlukis
menjadi artefak tersendiri. Sejarah mengandung Ibrah (Pelajaran) dan pesan dari dimensi masa lalu untuk masa kini
dan kedepanya.
Salah satu yang
gencar ditayangkan adalah sejarah Ummat ini saat Walisongo berjibaku
menyebarkan ajaran agama islam. Walisongo adalah Legenda bagi ummat islam
Indonesia, khusus di Jawa mereka bisa dikatakan mereka adalah pionir penyebar
agama islam. Sejarah tidak berhenti disini saja, apalagi secara metodis dan
output Islam di jawa memiliki kekhasan dengan Islam dengan daerah lain, konon
perbedaan ini hasil ijtihad para Walisongo terdahulu, tentunya ajaran ini tanpa
mereduksir syariat secara substansial.
Sayangnya
tayangan dalam salah satu televise menampilkan keadaan yang sebaliknya. Jikalau
kita mengikuti dengan cermat, para walisongo seakan manusia linuwih yang
dibekali kemampuan super untuk menaklukan para dukun sesat yang massif di jawa
kala itu. Kesaktian Walisongo ini lebih banyak muncul daripada tausiah tausiah
mereka.
Akhirnya
tergambar oleh kita (terutama anak-anak), Walisongo datang ke tanah jawa untuk
menumpas dukun dukun sakti. Eksploitasi
Kemisitisan menjadikan masyarakat kita yang sudah nyaman duduk di era modern
kini, harus kembali ke era agraris, ketika apa disebut tahayul ataupun mitos
adalah galib dan dipercayai.
Cak Nur dengan
tegas mengatakan Modernisasi titik pentingnya adalah Rasionalisasi. Eksploitasi
kemistikan membuat kita berpikir irrasional dan abai kepada instrument modern.
Ambil contoh seorang yang berfikir irrasional pasti lebih memilih dukun yang
hanya akan disuguhi segelas air putih dan sebuah doa, ketika ia sakit. Bukan
kepada dokter, meskipun ia punya biaya.
Kiranya Para
Produsen alpa menampilkan kebodohan, Kemiskinan, keterbelakangan, dan
ketertindasan masyarakat jawa waktu itu sebagai rimba yang harus dibersihkan
oleh Walisongo. Padahal poin ini yang menjadi inti substansi kedatangan
walisongo ke tanah jawa.
Gambaran Heroik
Walisongo ini, takutnya akan membuat musuh ummat bergeser dari dimensi
humanisme menuju dimensi yang Transendental (Ghaib). Padahal masalah keumatan
tidak hanya berputar pada masalah keghaiban saja.
Kita berharap
ummat tidak hanya memahami Sunan Kalijaga dari Duelnya dengan Syekh Siti Jenar
nun jauh di perut bumi sana. Substansi yang tereduksir dan tayangan Edukasi
yang semakin minim ditampilkan Televisi,
harus diimbangi dengan budaya literasi dan diskusi untuk menjaga
kualitas ummat.
Program Teladan
Diantara sesaknya
program program tak bermutu, memang beberapa terselip program yang mendapat
apresiasi. Program Hafidz Qur’an dengan peserta belia sangat disesalkan baru
ditampilkan saat Bulan Ramadhan. Akan sangat bermanfaat jika digalakan
sepanjang waktu untuk memberi stimulan pada generasi kecil kita yang semakin
berjarak dengan Alqur’an.
Ummat ini
membutuhkan sosok teladan yang bias mentranmisikan risalah kenabian kedalam
suatu sosok. Itulah mengapa Islam sanggup survive dalam berbagai era, Islam
tidak diuturunka murni ajaran dan konsep tentang pedoamna hidup, namun
dilengkpai contoh pula pedoman itu diterapkan oleh sosok nabi. Program Hafidz
Qur’an memberi pesan keberhasilan orang tua dalam mendidik anak, disaat banyak
cerita anak yan tak mndapat sentuhan didikan orang tua.