Selasa, 31 Mei 2016

Sayyid Ustman, jejak Kontroversial Mufti Betawi



Islam pada masa pemerintah Kolonial selalu menjadi penghalang, yang selalu menyusahkan kuku kolonial leluasa menancapkan kekuasaan di Bumi Nusantara. Pemberontakan yang dipimpin para Ulama dan Haji, selalu diwaspadai oleh para gubernur jenderal, hingga kemudian dipikirkan cara terbaik untuk meredam semangat perlawanan Umat Islam. Pendirian Kantoor voor Inlandasche Zaken atau kantor urusan nasehat untuk masalah Pribumi pada 1899, menandai keawaspadaan Total pemerintah Kolonial terhadap gerakan Islam. Sebab mayoritas Pribumi adalah beragama Islam, maka otomatis, Islam menjadi fokus garapan kantor ini.
Nama Snouck cukup dikenal sebagai kepala komisaris kantor tersebut, selain nama besarnya dalam studi Islam di Hindia Belanda. Rekam Jejak Snouck cukup istimewa, ia berhasil membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda meningkatkan kewaspadaan kepada Politik Ummat Islam. Snouck meyakinkan Pemerintah Belanda agar mereduksi Islam sekedar berkembang menjadi agama ibadah saja. Politik Islam yang menjadi inspirasi perlawanan terhadap pemerintah Kolonial, sedikit banyak dikurangi.
Kejeniusan Snocuk tidak lepas dari kenyataan dirinya adalah seorang Muslim, dengan menyamar sebagai Abdul Gaffar, Snouck telah mempelajarai Islam di Mekkah. Dan yang tidak kalah penting, Snocuk didampingi seorang Ulama, yaitu Sayyid Utsman. Rekam jejak Sayyid Utsman, terbilang kontroversi pada zamanya. Disaat para Ulama lain, gigih menentang pemerintah Kolonial. Ia justru ada dalam Kubu seberang, tak jarang Sayyid Utsman menjadi santapan empuk kritik Ulama saat itu, ia dituduh menjual Agama kepada Pemerintah Kolonial.  hal ditambah kenyataan bahwa Sayyid Utsman adalah seorang mufti di wilayah Batavia.
Namun Sayyid Utsman juga tidak sedikit mendapat pujian, terutama karena keuletan Sayyid Ustsman dalam menentang Bid’ah yang berlindung di balik baju tradisi dan budaya. Oleh sebab itu, tidak sedikit yang menyebutnya sebagai “Ulama Pembaharu”.
Sekilas Sayyid Utsman
Sayyid Utsman dilahirkan di Pekojan, Betawi, pada tanggal 17 Rabiul Awal 1238 (1822 M). Ayahnya, Abdullah, dan kakeknya ‘Aqil, dilahirkan di Makkah, tetapikakek ayahnya, Umar, dilahirkan di Hadramaut tepatnya di desa Qârah Âl Syaikh. Mengenai kakek Sayyid Utsman, ‘Aqil, informasi dari Snouck hanya menjelaskan bahwa dia adalah seorang yang cukup terhormat di Makkah. Jabatannya sebagai syaikh al-sâdah (pemimpin para sayyid) disandangnya selama 50 tahun. Ia kemudianmeninggal dalam penjara Syarif Akbar. Sedangkan ibu Sayyid Utsman bernamaAminah adalah putri dari Syekh Abdurrahman al-Mishri, seorang ulama keturunanMesir yang sudah ada di Indonesia.
Sayyid Utsman pun diasuh oleh kakeknya, Abdurrahman al- Mishri. Melalui kakeknya,pula Sayyid Utsman mendapatkan pengajaran membaca al-Qur`an, akhlak, ilmu tauhid, fikih, tasawuf, nahwu sharaf, tafsir-hadis dan ilmu falak.Sayyid Utsman berangkat ke Makkah ketika usianya 18 tahun. Ia berada di sanadalam rentang waktu antara tahun 1840 sampai 1847. Selain untuk menunaikan ibadah haji, perjalanan ini juga dimaksudkan untuk mengunjungi ayahnya.
Ia melanjutkan Setelah tujuh tahun di Makkah, Sayyid Utsman melanjutkan kembaliperjalanannya ke Hadramaut pada tahun 1264 (1848) dan mengambil pengetahuan kepada para ulama Hadramaut. Hasrat Sayyid yang masih lapar akan ilmu, membuat ia melancong ke Madinah, Mesir, Tunisia, sampai ke Istanbul. Pada tahun 1862 ia pulang ke Indonesia melalu Singapura. Ia menuju tanah kelahiranya, di Batavia.
Malang melintang mencari Ilmu, kedatangan Sayyid Utsman cukup disegani para Ulama kala itu, meskipun Sayyid Utsman meanmpilkan sikap yang merendah. Syekh Abdul Gani Bima, yang sudah sepuh, meminta ia mengganti mengajar di masjid pekojan. Berkat ketinggian Ilmunya pula, ia diangkat menjadi Mufti di tanah Betawi.
Sayyid dan Snouck
            Hubungan Sayyid Utsman dengan Pemerintah Kolonial sudah terbentuk jauh sebelum Snouck datang ke Indonesia, dan menjabat sebagai kepala kantor urusan pribumi (Kantoor voor Inlandasche Zaken). Sayyid Utsman diangkat menjadi penasehat urusan arab pada 1891.
            Alasan pengangkatan Sayyid Utsman tidak lepas dari kondisi masyarakat arab di Indonesia saat itu. Awalnya, masyarakat Arab ayng digambarkan sebagai masyarakat yang mencintai baca tulis, berfokus pada urusan perdagangan, sementara dalam urusan sosial Politik, masyarakat Arab tidak memiliki rasa simpatik yang tinggi.
            Namun sejak munculnya semangat Pan Islamisme, yang ditadai dibukanya konsulat Turki d Batavia. Masayarakat Arab mulai berbicara tentang Hak Hak Politiknya, terutama sejak masyarakat Arab dimasukan “Kelas Dua“, dibawah kedudukan orang Eropa, bersama orang china dan golongan lain. Meskipun nasib mereka lebih baik daripada Pribumi, yang ditempatkan sebagai masyarakat kelas tiga.  
            Khawatir akan adanya pemberontakan, pihak Belanda mengangkat Sayyid Usman sebagai penasehat Pemerintah Kolonial untuk urusan Arab, Ia dipilih karena kualitas keilmuan Sayyid Usman.  Jauh sebelum diangkat, Sayyid Usman telah bekerjasama dengan K.F Holle, untuk pembuatan Peta Hadaramaut. Keintelektualan Sayyid Usman dibuktikan dengan cukup produktifnya ia menelurkan tulisan. Kebanyakan tulisan Sayyid Usman berkisar pada semangat penolakanya pada praktik praktik Bid’ah, yang sebenarnya dialamatkan kepada gerakan gerakan tasawuf.
            Sebelum kedatanganya, Snouck telah mengenal Sayyid Ustman lewat tulisan tulisanya, yang menurut Snouck akan sangat membantu kebijakan Pemerintah Kolonial. Sikap negatifnya terhadap tasawuf, membuat Sayyid Ustman mengutuk Pemberontakan Petani Banten yang diinisiasi oleh para sufi. Sang Mufti memberi pendapat ganjil, bahwa pemberontakan rakyat Banten bukan Jihad melawan orang kafir, karena tidak memenuhi syarat syarat Jihad, meskipun ia tidak memberikan gambaran Jihad secara utuh.
            Ajakan Snouck untuk mendampinginya sebagai peneliti, makin membuat posisi Sayyid Utsman kian penting. Ia berfungsi memberikan informasi kepada Snouck tentang perkembangan Islam pada kala itu. Bahkan dengan keluasan Ilmu Fiqihnya, terkadang Sayyid Ustman dipandang memberikan pendapat yang sejalan dengan kepentingan Pemerintah Kolonial.
            Hal ini terjadi dalam kasus pembangunan masjid baru di Palembang. Pembangunan masjid baru, diperlukan, karena jamaah semakin mebludak. Namun, hal ini menimbulkan justru menimbulkan perselisihan, peradilan agama dan residen merestui pembangunan masjid baru, sedangkan Sayyid Utsman berpendapat pembangunan masjid baru tidak sejalan dengan Madzab Syafii yang banyak dianut di Indonesia.
            Mengutip pendapat Imam Syafii, bahwa jarak satu masjid dengan masjid yang lain, adalah sampai adzan masjid yang satu dengan yang lain tidak terdengar. Yang menurut Snouck adalah kira kiar sejauh dua kilometer. Bahkan menurut Sayyid Ustman, pembangunan masjid baru ini semacam pembanguna masjid Dhirar yang dibangun pada masa Rasulullah. Masjid Dhirar merupakan masjid yang dibangun oleh kaum munafik, untuk tujuan melawan Rasulullah.
            Pembatasan pembangunan masjid, sedikit banyak menguntungkan Pemerintah Kolonial, karena semakin terbatas pula sarana dakwah yang strategis bagi Ummat Islam. Dan dengan kenyataan ini, semakin minim pula terbuka peluang melakukan program aksi massa untuk membangkitkan kesadaran Ummat akan penindasan Pemerintah Kolonial.
Sayyid versus Tasawuf
            Predikat sosok kontroversi pada Sayyid Utsman, dimulai dari keberpihakanya kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, meskipun disaat yang sama, banyak Ulama yang mulai terpengaruh ide Pan Islamisme dan aktif menentang Kolonialisme. Dalam hal ini, Peran Sayyid Utsman, terbilang ganjil, Sayyid Utsman juga terlihat melawan arus saat berbicara tentang Pemberontakan Petani Banten, yang ia anggap bukanlah jihad, karena tidak memenuhi syarat syarat Jihad.
            Pandangan keagamnaan Sayyid Utsman cenderung puritan, dan amat tegas dalam menentang Bidah dan Tahayul. Sayyid Utsman disebut Azra memiliki pandangan syariat yang sempit, Syariat menurutnya, hanya berkutat pada masalah ritual. Kritik utamanya adalah terhadap Tasawuf dan Tarekat yang dianggap membawa praktik praktik menyimpang dari Syariat Islam. Dari hal ini bisa dilihat, kritik Sayyid Utsman yang memukul rata pemberontakan  Petani Banten, sebagai gerakan non jihad, karena syarat syarat tidak terpenuhi. Besar kemungkinan Sayyid Utsman, reaksi negatif ini dimaksudkan untuk mencibir gerakan tarekat yang menurutnya menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
            Kita bisa mengawali dengan peristiwa cianjur 1885. Kala itu, Tarekat Naqshabandiyah, tumbuh subur, dan pemerintah Hindia Belanda cukup was was, karena keberadaan Tarekat ini berpotensi menggangu keamanan dan ketertiban. Puncaknya Sayyid Utsman mengeluarkan fatwa sesat aliran Tarekat ini, karena menyimpang dari Islam yang murni. Dasar Fatwa ini, kemudian dijadikan dasar bagi Pemerintah Kolonial untuk memecat penghulu besar Sukabumi dan Cianjur karena terlibat dalam Tarekat Naqshabandiyah.
            Dalam tulisan tersebut, Sayyid Utsman mengkritik keras Syech Ismail Al Minangkabau, yang merupakan pembawa ajaran Tarekat Naqshabandiyah ke Nusantara. Kritik ini memunculkan respon dari seorang murid Syech Ismail, dengan nama Pena Tuanku Nan Garang. Ia menerbitkan naskah “Cerita Perbantahan Dulu Kala”, yang merupakan respon atas tulisan dari Sayyid Utsman.
            Cerita Perbantahan Dulu Kala (selanjutnya disebut CPDK) pun memuat pembelaan terhadap Syech Ismail Al Minangkabau dari serangan Salim bin Abdullah bin Sumair serta Syech Nawawi Bantani. Senada dengan Sayyid Utsman, Salim bin Abdullah melihat Tarekat Naqshabandiyah bukanlah merupakan ajaran Islam yang murni.
            Oleh CPDK kritik Salim bin Abdullah dikaitkan konteks waktu itu, Salim bin Abdullah baru saja dipecat dari Mufti kerajaan Yaman, ia mengalami kesulitan ekonomi dan terdampar di Singapura. Diwaktu yang sama, Syech Ismail al Minangkabau yang baru tiba dari Mekkah,  dalam waktu yang singkat memperoleh simpati dari masyarakat melayu.
            Sedang Syeh Nawawi al Bantani, awalnya enggan terlibat polemik dengan Tarekat Naqshabandiyah. Ia memiliih jalur moderat, namun setelah didesak oleh Sayyid Utsman, ia menyerang tatacara dzikir Tarekat Naqshabndiyah, yang berisi celaan untuk orang yang tidak mau masuk tarekat. Oleh CPDK, Syech Nawawi dianggap mengkritik tanpa dasar.
            Puncaknya adalah kritik Sayyid Utsman, selain menyebutkan kesasatann tarekat, Tarekat ini dikhawatirkan menyebabkan gangguan keamanan dan ketertiban. Oleh CPDK, Kritik Sayyid Utsman tidak memiliki dasar yang kuat, kritik Sayyid Utsman lebih tertuju kepada personal Syech Ismail Al Minangkabau, bukan kepada substansi Tarekat itu sendiri. Syech Ismail mendapat simpati dari masyarakat melayu, sehingga menimbulkan rasa iri kepada Ulama lain.
            Polemik terhadap Tasawuf bisa dilacak pada zaman kesultanan Aceh Darussalam sekitar akhir abad ke-17, tepatnya di masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1637-1641). Konflik atau ketegangan politik keagamaan tersebut berawal dari adanya kontroversi atas doktrin wah}dat al-wujud) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani. Ulama yang menentang keras ajaran tersebut adalah Nuruddin al-Raniri yang sempat berada di Aceh tahun 1637-1644