Minggu, 29 November 2015

Politik Hukum Penindasan



Politik Hukum Penindasan
Paradigma positivisme dalam Sistem Hukum Indonesia
            Minah masih menangis, air matanya masih membasahi lantai pengadilan Banyumas. Sujudberharap ampun tidak mengahapus delapan bulan buinya. Tiga buah kako yang diambil,berbuah kemurkaan mandor kebun. Dalih memberi pelajaran, minah si tua renta dihadapkan meja hijau. Dengan berhutang tetangga, minah tertatih menuju peradilan tanpa pembela. Dengan sesenggukan (mungkin tak tega), hakim membaca putusan diiringi air mata.
            Apa yang dialami minah, secara hukum (kita) patut untuk dipersalahkan. Unsur Unsur pencurian dalam Undang Undang telah terpenuhi. Hal ini menjadi alasan bagi penegak hukum untuk memproses kasus minah. Meskipun secara moralitas, kita yakin, penegak hukum tak patut untuk memproses kasus picisan ini.
            Namun demikian, harus kita akui, paradigma penegakan hukum kita memang berjarak dari moralitas. Selain minah, masih banyak kasus kasus serupa yang berujung nirkeadilan.[1]Hal ini dilatarbelakangi penegakan hukum yang rigid dalam mengikuti bunyi peraturan yang hanya disahkan sebuah otoritas dalam hal ini adalah pemerintah. Penegakan hukum kita juga tidak memberikan ruang kepada moralitas maupun nilai nilai lain dalam prosesnya.
Asumsi asumsi yang dibangun ini, menandakan penegakan hukum kita berkiblat pada madzab positivisme.[2]Yang menjadi catatan penting adalah Positivisme merupakan bagian dari Politik Hukum Kolonial untuk mempertahankanstatus quo penjajahan.Strategi unifikasi hukum, membuat norma yang telah lama hidup dalam masyarakat, semacam Hukum adat dan Islam, sengaja tersingkirkan.
Contoh termudah adalah, hilangnya mekanisme musyawarah dalam penyelesaian perkara pidana yang dikenal dalam hukum adat maupun hukum islam. UU mengaharuskan arus perkara pidana dirampungkan lewat pengadilan, meskipun masyarakat sebenarnya enggan, karena ruwetnya birokrasi dan proses yang tidak berujung keadilan. Mereka memilih penyelesaian secara “diam-diam” dengan jalan musyawarah, hal ini dibuktikan dengan beberapa catatan empiris.[3]
Selayang pandang Positivisme
            Positivisme hukum secara umum, dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran analytical Yurisprudence yang dikembangkan oleh Austin dan Teori Hukum Murni yang dikembangkan oleh Hans Kelsen.[4]Hukum dalam pandangan Analitical Yurisprudence, diartikan sebagai perintah (Command) suatu otoritas. Perintah dari otoritas bersifat memaksa dan memiliki sanksi jika tidak ditaati.[5]
            Sedang dalam Teori Hukum Murni, Hukum diterjemahkan memiliki sifat otonom. Ia berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu, dan bersih dari segala anasir lainya semacam politik, ekonomi, agama,maupunideologi.[6] Metode ini, hampir sama yang dilakukan Filsuf Yunani dengan konsepBios-theoritikhosatau pemurnian terhadap segala unsur metafisis yang menghalangi proses pencarian kebenaran.[7]
            Awalnya, Teori hukum murni dikembangkan Kelsen untuk menciptaka ilmu yang “khas” Hukum. Hal ini dilatarbelakangi, dominanya ilmu hukum dipengaruhi dua paradigm pada saat itu yaitu Teori Hukum alam (natural law theory) yang memasukan unsur moral dalam hukum dan Teori hukum empiris positivstik (empirico positivist theory of law) yang terinternalisasi perilaku empiris.[8]
            Kelsen diduga terpengaruh Positivisasi pengetahuan yang bebas nilai yang disusun oleh Comte. Hal ini tidak lain, karena obsesi kelsen mensejajarkan ilmu hukum dengan ilmu eksakta yang memiliki pandangan dualisme. Prinsip dualisme membagi subjek dan objek, manusia dengan alam, penafsir dan teks. Objek haruslah netral dari kepentingan subjeksebagai salah satu syarat pengetahuan. Dalam konteks penegakan hukum. Hukum yang berarti objek, haruslah berjarak dengan kepentingan subjek (penegak hukum), meskipun subjek memiliki nurani yang bervisi keadilan.[9]
Di Indonesia, Paradigma ini mulai diberlakukan sejak tahun 1847. Kemudian secara perlahan menjadi kekuatan hegemonic, untuk kemudian membungkan paradigma lain, sehingga kemudian selalu menjadi pilihan antara berbagai paradigma yang seharusnya dapat digunakan oleh para penstudi hukum dalam mengembangkan ilmunya.[10]
            Hukum adat yang berkaitan dengan moralitas, maupun hukum islam yang kaya akan makna transendensi, tentunya bukan objek dari Positivisme sendiri, sehingga cenderung diabaikan. Positivisme yang berorientasikan kepada kepastian hukum, membuat keadilan substansial tersubordinat di bawahnya. Hukum menjadi serba mekanis dan manusia semakin teralienasi karena sifat dualismenya. Hukum terdefinisi semakin kaku dan hitam putih. Keadilan yang didambakan sulit didapatkan.
Hukum Adat dan Islam, sebuah eksemplar
            Melihat rekam sejarah, Politik Hukum Kolonial memiliki kepentingan mengintegrasikan sistem hukum maupun ekonomi ke Negara jajahanya. Penanaman positivism erat kaitanya dengan politik hukum pada masa Kolonial. Hukum islam dan adat menjadi salah satu hambatan dalam hal ini, terutama hukum islam yang dikhawatirkan pemerintah kolonial jika terintegrasi dengan masyarakat.[11]
            Hukum adat tumbuh dari kebiasaan dan perilaku dan tidak tertulis, sedang hukum islam diambil dari Qur’an, Hadist, dan kitab kita fiqh yang berbentuk aturan tertulis. Sungguhpun begitu, baik Van Vallenhoven (1987) maupun Soepomo (1996) menyebut keduanya memiliki ikatan yang kuat.[12] Syahrizal menambahkan, adat merupakan pelaksanaan dari syariat islam dalam keseharian.[13]
Awal VOC datang, kebijakan terhadap hukum islam mendapat perhatian dengan disusunya Compendium Freijer atau kitab kompilasi hukum islam.[14] Setelah VOC pergi, dan pemerintahan ditangani oleh Rafless, pemerintah memberiperhatian yang sama kepada hukum adat, dengan membentuk peradilan adat bagi perkara perkara kecil.[15]
Selepas Rafles pergi, Pemerintah Kolonial semakin memperhatikan Hukum adat, terutama dengan menetapkan tiga tokoh yaitu. G.A Wilken (1891), Lefrinck dan Snouck Horgronje, sebagai penstudi hukum adat.[16]Tugas ini dilanjutkan oleh Van Vallenhoven yang melakukan studi dengan tujuanpembirokrasikan hukum adat dalam bentuk aturan tertulis.[17]
Namun, dalam catatan Daniel Lev yang ditulis Syahrizal (2004), upaya ini sebenarnya untuk menjauhkan hukum adat dari substansi dan rohnya yang cenderung dinamis dan mengikuti perkembangan masyarakat. Hukum adat hanya diambil normanya untuk dibakukan, sementara unsur kedinamisanya dipisahkan dari akar politik maupun ekonominya. Politik hukum ini, ujar Lev lebih terasa kepentingan kolonialismenya daripada unsur akademis.[18]
Lev menambahkan, penciptaan adatrecht atau Hukum adatdalam bentuk tertulis bertujuan untuk dilawankan dengan Hukum Islam yang sudah lama mapan dalam kitab kitab Fiqh.[19]Pertentangan dengan menjunjung tinggi hukum adat terhadap hukum islam melahirkan teori kelas bambu terhadap hukum islam. Pada waktu itu, pemerintah Kolonial menganut Teori Receptie, yang menyatakan bahwa hukum islam berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukulm adat.
Teori ini kemudian dikritik karena diduga mematahkan perlawanan bangsa Indonesia terhadap kekuasaan kolonial yang dijiwai hukum islam. Hazairin, dengan lantang menyebut teori ini sebagai teori Iblis.[20] Beberapa perlawanan diketahui memang bernafaskan islam terhadap pemerintah Kolonial, semisal Pemberontakan Diponegoro (1925-1930), maupun Pemberontakan Petani Banten yang diinisiasi oleh kaum sufi (1888).
Seusai kemerdekaan, kritik terhadap madzab positivisme diserukan oleh Soepomo dan Soekanto yang memberi solusi epistemologi hukum adat sebagai kerangka politik hukum nasional. Gagasan ini luntur, dengan datangnya era Developmentalisme segala bidang ala orde baru.
Era Orde Baru, membutuhkan teknisi teknisi hukum yang bisa memberi jaminan kepastian hukum. Atmosfer ini menjadi tempat yang ramah bagi penanaman modal dari luar, dan mengarahkan hukum ke arah yang liberal.[21]Penyakit Hukum bersifat teknologis ini menghinggapi para penegak hukum, yang kemudian melahirkan kasus kasus yang telah disebutkan.
***
Jadi benarlah yang diungkapkan Mahfudz (2003), hukum adalah kristalisasi dari politik maupun kepentingan tertentu. Positivisme lahir dengan semangat bebas nilai dan semangat sekular. Positivisme digunakan pemerintah kolonial untuk mengunci perlawanan yang dilandasi semangat syariat islam, ia dipertentangkan (ironisnya) dengan hukum adat yang merupakan derivasi dari hukum islam sendiri.
Disisi lain, sifat legismenya yang serba teknis dan prosedural menjadi habitat bagi tumbuh kembang modal modal kapital bagi juragan yang membutuhkan kepastian hukum. Dan sudah bisa kita tebak, Kapitalisme adalah ancaman laten bagi bangsa ini.
Oleh Faizal Adi Surya, Anggota Biasa Kammi di Soloraya. Komisarisat Al Fath UMS, Fakultas Hukum UMS, Angkatan 2011

Daftar Pustaka
Ali, Daud, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta : Rajagrafindo, 1999).
Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiona (ed), Problem Globalisasi ; perspektif sosiologi, hukum, ekonomi, dan agama, 2000, (Surakarta : MUP)
Dimyati, Khudzaifah dan Kelik Wardiono, Paradigma Rasional dalam Ilmu Hukum, 2013, Yogyakarta ; Genta Publishing
Fuady, Munir. Teori-Teori besar dalam Hukum,  (Jakarta : Kencana, 2013)
Fautanu, Idzan, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Referensi, 2012)
Md, Mahfudz, Politik hukum di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Press, 2003)
Syahrizal, Hukum Islam dan Adat di Indonesia,  (Yogyakarta:Ar ruz, 2004)
Susanto, Anton, Ilmu Hukum Non SIstematik; paradigm pengembangan ilmu hukum di Indonesia,(Yogyakarta : Genta Publishing, 2010)


                                                                                                                                     





[1]Kasus lainya adalah AAL (19) bocah ingusan yang mencuri sepasang sandal sandal jepit seorang polisi, akibatnya ia diancam bui 3,5 tahun. Kasus terbaru adalah Nenek Asyani yang harus menjalani satu tahun bui di Situbondo. Ia diduga mencuri kayu jati yang ia anggap peninggalan Almarhum Suaminya.
[2]Positivisme adalah salah satu Madzab Aliran Hukum. Positivism diperkenalkan oleh Comte yang berasal dari dari kata positif. Ia mengembangkan konsep Positivisme sebagai kritik terhadap filsuf pencerahan perancis yang ia anggap negative dan destruktif. Comte membuat barisan kontra revolusioner terhadap filsuf pencerah yang masih terperangkan metafisika. Dony Gahral Adian dalam Anton Susanto, Ilmu Hukum Non SIstematik; paradigm pengembangan ilmu hukum di Indonesia, 2010, Yogyakarta : Genta Publishing, hlm 64.
[3] Salah satunya dijabarkan oleh Natangsa Surbakti (2014) yang melihat pemaafan sebagai unsur yang hilang dewasa ini. Ia mendapati di lapangan (Aceh, Jawa dan Bali) beberapa kasus diselesaikan lewat jalan musyawarah. Hal ini diperkuat I Made Agus Mahendra (2013) dengan tesisnya tentang peradilan adat di Bali yang menekankan jalan musyawarah, hal ini kemudian didukung penegak hukum setempat.
[4]Sedikit berbeda, Anton mengikuti pendapat Ahmad Ali (2004), E. Sumaryono (2002), dan Dimyati (2004) yang membagi dua aliran Positivisme Hukum yaitu Positivisme Sosiologis dan Positivisme Yuridis. Meskipun pada dasarnya memiliki substansi yang sama. Anton, ibid.
[5] Munir Fuady, Teori-Teori besar dalam Hukum,  2013, Jakarta : Kencana, hlm 97.
[6]Kelik Wardiono dan Khudzifah Dimyati, Paradigma Rasional dalam Ilmu Hukum, 2013, Yogyakarta ; Genta Publishing.
[7] Idzan fautanu, Filsafat Ilmu, 2012, Jakarta : Referensi, hlm 227. Bios theoritikhos merupakan upaya demitologisasi terhadap cara mengakses pengetahun melalui ritus ritus keagamaan, Bios theoritkhos adalah upaya para filsuf mendapatkan jalan kebenaran melalui proses ilmiah, yang menggabungkan tradisi praxis dan empiris.
[8] Kelik Wardiono, Op Cit, hlm 1
[9]Prinsip dualism Kelsen terpengaruh dari Dualisme dalam paradigm Cartesian-Newtonian.Descartes melihat manusia dapat memahami dan mengupas realitas yang terbebas dari konstruksi mental manusia, bahwa subjek dapat mengukur tanpa mempengaruhinya, dan sebaliknya tanpa terpengaruhi oleh subjek. Anton Op Cit 145.
[10] Ibid,
[11] Kelik dan Dimyati, op Cit,hlm vi
[12]Di Minangkabau terkenal ungkapan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang berarti Adat berasal dari syariat dan syariat berasal dari Kitab (Alqur’an). Hal ini berdasarkan kesepakatan ninik mamak (tetua adat) dengan para petinggi agama di Minangkabau dalam persoalan warisa. Syahrizal, Hukum Islam dan Adat di Indonesia, 2004, Yogyakarta : Ar Ruz, hlm 64.
[13] Syahrizal, Hukum Islam dan Adat di Indonesia, 2004, Yogyakarta : Ar Ruz, hlm 67.
[14]Compendium Freijer hanya berisi  Hukum Perkawinan dan Hukum Waris. Syahrizal, Ibid, hlm 124.
[15]Ibid.
[16] Van Vallenhoven dalam Syahrizal, Ibid.
[17] IbId, hal 128.
[18] Ibid, hal 130.
[19] Beberapa kitab fiqh yang menjadi acuan dalam berhukum diantarnya adalah (1) Muharrar karangan Ar Rafi, (2) Minhajut Talib karangan An Nawawie, (3) Tuhafah karangan ibnu hajar, (4) Nihayah karangan ar ramli, (5) Fathul Muin karangan al-Malabari, dan lain lain. Daud Ali, Pengantar Hukum Islam, 1999, Jakarta : Rajagrafindo, hal 191.
[20] Sayuti Thalib dalam Daud Ali, ibid hal 220.
[21] Satjipto Rahardjo dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik (ed), Problem Globalisasi ; perspektif sosiologi, hukum, ekonomi, dan agama, 2000, (Surakarta : MUP),  hal 15.